ABUSE OF POWER OLEH LEGISLATIF TERHADAP PERLINDUNGAN PEREMPUAN DI DALAM RANCANGAN KUHP

0
ABUSE OF POWER OLEH LEGISLATIF TERHADAP PERLINDUNGAN PEREMPUAN DI DALAM RANCANGAN KUHP

Konteks persoalan aborsi berawal dari kasus di El Salvador yang terjadi pada tahun 1990-an yang menganggap bahwa aborsi disetarakan seperti pembunuhan, di mana banyak perempuan yang divonis penjara puluhan tahun akibat melakukan tindakan aborsi. Realitanya, Undang-Undang yang mengatur aborsi di Indonesia sebenarnya sudah cukup relevan untuk menjadi payung hukum bagi kaum perempuan terutama dalam aspek perlindungan martabatnya.  Hal ini terlihat dari Pasal 15 dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992, yang mengatur diperbolehkannya aborsi karena alasan medis. Tidak hanya itu, Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi juga telah mengatur dengan rinci mengenai mekanisme aborsi bagi korban pemerkosaan. Dengan demikian, hukum di Indonesia memperbolehkan dua alasan untuk melakukan aborsi, yaitu karena alasan medis dan korban pemerkosaan.

Akan tetapi, peraturan itu sepertinya sedang menuju kemunduran. Karena Hal ini jelas terlihat pada pasal mengenai aborsi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yaitu pasal 470, 471, dan 472. Hanya pada pasal 472 ayat 3 yang mengatur mengenai siapa pihak yang tidak dipidana karena melakukan aborsi, yaitu dokter.

“Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana”, demikian bunyi pasal tersebut.

            Pada bunyi Pasal 15 dalam Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tersebut telah diatur secara tegas mengenai legalitas aborsi. Oleh karena itu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru tidak perlu memperbarui aturan tersebut. Karena dalam sistem hierarki perundang-undangan di Indonesia, penerapan dasar hukum haruslah mendahulukan peraturan perundang-undangan dibawahnya  atau khusus (lex specialis)  setelah itu baru mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi .  Lalu untuk apa DPR menjalankan fungsi legislatifnya apabila produk hukum yang dihasilkan tersebut tidak sesuai dengan penegakan moral di masyarakat dan berujung pada penyalahgunaan kekuasaan legislatif untuk mencederai sendi-sendi demokrasi ?

S for GAEKON