Akal Bulus Lembaga Keuangan, Keberlangsungan Usaha Dan Pandemi Covid-19

0
Akal Bulus Lembaga Keuangan, Keberlangsungan Usaha Dan Pandemi Covid-19

Gaekon.com – Penyebaran virus Covid-19 di Indonesia sudah meluas sampai ke seluruh pelosok Tanah Air dan sudah memakan banyak korban jiwa. Untuk memutus rantai penyebarannya pemerintah Indonesia dan negara-negara di dunia mengambil tindakan yaitu tidak menerima warga asing masuk ke wilayahnya, WFH atau bekerja dari rumah, juga menerapkan kebijakan PSBB di beberapa wilayah. Tetapi tidak semua sektor usaha bisa melakukan WFH terlebih sektor usaha padat karya, UKM, pariwisata, kuliner, pekerja informal, yang berujung lesunya dunia usaha hampir di semua sektor.

Dalam melakukan usaha setiap perusahaan baik kecil, menengah, atau pun besar pasti memiliki hutang pada pihak ketiga. Dalam hal ini bisa bank ataupun lembaga keuangan lainnya. Dalam menjalankan usaha saat pandemi seperti ini banyak perusahaan yang kesulitan dalam sektor keuangan ketika sudah banyak terjadi tagihan macet, turunnya daya beli dari masyarakat, dan mulai banyak perusahaan yang melakukan pemotongan gaji, merumahkan karyawan, mem-PHK karyawan, bahkan menutup tempat usaha.

Permerintah Indonesia telah mengeluarkan Kepres No. 11 tahun 2020 tentang penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019, bahkan bersama DPR telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang No. 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang untuk bertujuan untuk menstabilkan kondisi perekonomian secara nasional. Bahkan, pemerintah juga telah mengeluarkan Kepres No. 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam penyebaran Corona Virus Desease sebagai dasar hukum Force Majure.

Hubungan hukum antara bank maupun lembaga keuangan lain dengan nasabah adalah hubungan kontraktual seperti dalam pasal 1338 KUH Perdata. Para pihak menundukan diri terhadap perjanjian tersebut layaknya Undang-Undang.

Lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank harus turut serta dalam membantu dunia usaha yang juga terkena imbas dari pandemi. Hal itu agar tidak sampai terjadi penutupan usaha atau pailit yang akan memperburuk kondisi keuangan. Lembaga tersebut bisa membantu dengan cara memberikan stimulus relaksasi, pembayaran angsuran fasilitas pembiayaan, maupun kredit modal kerja baik dari segi bunga dan besarnya angsuran.

Lembaga keuangan harus membantu kreditur dengan kondisi tidak mampu membayar dan menepati perjanjian kredit atau pembiayaan yang ditandatangani baik bunga maupun angsuran dikarenakan hal tidak terduga/ Force Major karena pandemi. Selain itu, hak tersebut bukan merupakan etikad tidak baik yang disengaja sesuai pasal 1244-1245 KUH Perdata dan harus menjadi perhatian serius pihak pemberi pinjaman.

Keadaan tidak terduga ini akan menjadi lebih parah apabila perbankan atau lembaga keuangan lainnya dengan ego hanya memberikan stimulus “relaksasi abal abal”. Sebab hal itu yang bertentangan dengan pasal 1244-1245 KUH Perdata yang menyatakan seharusnya beban bunga tidak dapat ditagih dalam keadaan memaksa atau tidak terduga seperti pandemi Covid 19 ini.

Kondisi pengajuan restrukturisasi perbankan yang sedang berlangsung saat ini sama sekali tidak memperhatikan asas keberlangsungan usaha dan malah berpotensi menimbulkan kredit macet yang mengakibatkan membesarnya potensi pailit para pelaku usaha dan menaikkan NPL dari Bank.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) secara sukarela oleh kreditur yang diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004 bisa menjadi solusi bagi para pelaku usaha yang tidak mendapatkan stimulus relaksasi dari perbankan. Pada umumnya hasil dari pengajuan restrukturisasi yang diberikan bank adalah tetap membayar beban bunga yang tidak dikurangi selama relaksasi kemudian dilanjutkan pembayaran angsuran lama ditambah dengan angsuran yang belum dibayarkan. Secara tidak langsung biaya yang dibayarkan malah lebih besar daripada yang seharusnya. Yang kedua yaitu tiap bulan membayar sebagian dari jumlah angsuran per bulan selama waktu relaksasi, kemudian setelah relaksasi berakhir dilanjutkan dengan angsuran lama dan sisa sebagian angsuran yang belum dibayar juga dibayar sekaligus di akhir pembayaran.

Kedua opsi tersebut hanya permainan angka dan akal-akalan pihak perbankan, kapan bunga dan angsuran dibayar. Persetujuan relaksasi tersebut dapat ditolak oleh kreditur karena tidak sesuai dengan pasal 1244 dan pasal 1245 KUH Perdata.

Kreditur dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara sukarela terhadap perbankan dan lembaga keuangan lainnya ke Pengadilan Niaga sesuai dengan domisili hukumnya. Pengadilan Niaga dalam waktu 3 hari akan memutus PKPU Sementara dan selanjutnya akan di lanjutkan dengan sidang paling lama 45 hari.

Pada saat tersebut para pihak debitur dan kreditur dapat berunding secara maksimal untuk mempertimbangkan proposal perdamaian yang lebih fair dengan diawasi Hakim Pengawas dengan mempertimbangkan asas keberlangsungan usaha, tentang besaran total angsuran yang terdiri atas bunga dan angsuran, bahkan tentang kemampuan membayar dari kreditur selama masa relaksasi terutama saat pandemi Covid 19. Sehingga dapat diharapkan kreditur dapat kembali melaksanakan usahanya sekaligus mematuhi putusan perdamaian yang disepakati hingga PKPU berakhir.

 

J For GAEKON