‘Beas Perelek’ pasti masih terdengar asing ditelinga karena mungkin belum pernah mendengar sebelumnya. Namun bagi orang sunda, sudah sangat populer. Beas Perelek ini adalah tradisi di Jawa Barat yang masih terus dilestarikan sampai sekarang.
Tradisi ini hampir serupa dengan ‘Jimpitan’ di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Beas Perelek merupakan tradisi dalam bentuk gotong royong masyarakat budaya sunda dalam rangka mengatasi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok warganya.
Dilihat dari namanya, Beas Perelek ini berasal dari bahasa Sunda. Beas yang artinya beras. Beras sudah menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia untuk kelangsungan hidupnya. Perelek merupakan istilah dalam bahasa Sunda. Diambil berdasarkan kebiasaan orang Sunda untuk menamai sesuatu, sesuai dengan bunyi yang dihasilkannya.
Tradisi ini sendiri adalah tolong menolong khas orang sunda yang dihasilkan dari sumbangan warga desa. Sumbangan tersebut berupa bulir beras yang biasanya diambil segenggaman tangan dan ditaruh dalam wadah petugas desa.
Nah, kata Perelek itu sendiri filosofinya dari suara jatuhan bulir beras tersebut, yang konon katanya Orang Sunda berbunyi “perelek…perelek…perelek”. Untuk mengumpulkannya sendiri biasanya diserahkan ke petugas desa maupun pamong.
Dapat diartikan bahwa Beas Perelek ini iuran sukarela dari masyarakat dalam bentuk beras. Ketika beras tersebut sudah terkumpul, baru akan dibagikan kepada warga yang membutuhkan.
Seperti yang dilansir GAEKON dari GNFI, beas perelek yang bermula dari kearifan lokal budaya Sunda. Di tengah kondisi pandemi saat ini, bisa menjadi tawaran solusi untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang terdampak Covid-19.
Seperti yang dijelaskan Republika, Relawan Inspirasi Rumah Zakat di Ciamis Jawa Barat berinisiatif menggalakkan kembali budaya tradisional tersebut, guna membantu masyarakat yang kehilangan penghasilan akibat pandemi corona.
Direktur Marketing Rumah Zakat, Irvan Nugraha mengatakan bahwa ide tersebut hadir dari kesadaran Relawan Inspirasi Rumah Zakat. Menurutnya desa merupakan sumber pangan nasional.
“Teladan baik hadir salah satunya dari desa berdaya Kertajaya, Kecamatan Lakbok, Kabupaten Ciamis. Relawan Inspirasi Rumah Zakat, Bapak Asep Yana beserta tokoh masyarakat desa bersepakat untuk menghidupkan kembali budaya beas perelek,” kata Irvan.
Dalam rangka menjaga ketersediaan kebutuhan bahan pokok, Relawan Inspirasi bersama warga setempat, saat ini menjadikan desanya sebagai lumbung pangan nasional. Mengingat sebagian wilayah desa penghasil padi sudah memasuki musim panen.
Kepeduliannya tersebut untuk saling membantu menghadapi kondisi sulit seperti sekarang ini. Relawan Inspirasi Rumah Zakat, Asep Yana, mengatakan dalam kegiatan beas perelek ada nilai-nilai gotong royong yang begitu melekat dengan karakter bangsa Indonesia.
Yana berharap tradisi beas perelek dapat terus berjalan dan menjadi gerakan bersama untuk memupuk semangat gotong royong masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan. Selain itu, untuk melestarikan kearifan lokal yang bisa diwariskan kepada anak cucu kelak.
Jika dilihat tradisi Beas Perelek ini memang menjadi simbol semangat gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Bulir beras yang dikumpulkan masyarakat secara suka rela ini melatih rasa kepedulian dan keikhlasan untuk saling berbagi.
KL For GAEKON