Gaekon.com – Canang/banten atau sesajen rupanya sudah menjadi sesuatu yang familiar di Bali. Jika berkunjung ke Bali, kalian pasti sering melihat wadah persembahan kecil di pinggir jalan, di depan rumah, maupun di beberapa candi.
Canang sendiri merupakan sebuah persembahan dari penganut Hindu Bali yang sering digunakan dalam kegiatan persembahan sehari-hari oleh umat Hindu Bali.
Meski terlihat seperti barang tak terpakai dipinggir jalan, namun sajen ini memiliki nilai spiritual dan dihormati bagi masyarakat asli Bali terutama pemeluk agama Hindu Dharma.
Itulah mengapa ada larangan keras bagi siapapun yang sengaja menginjak maupun menendang canang.
Canang
Canang sari adalah upakāra keagamaan umat Hindu di Bali untuk persembahan tiap harinya. Persembahan ini dapat ditemui di berbagai pura, kuil, tempat sembahyang kecil di rumah-rumah, dan di jalan-jalan sebagai bagian dari sebuah persembahan yang lebih besar lagi.
Canang Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih.
Canang sari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canang Sari.
Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung.
Canang berasal dari kata “Can” yang berarti indah, sedangkan “Nang” berarti tujuan atau maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber. Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala.
Canang Simbol Kekuatan
Canang memakai alas berupa “ceper” (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan “Ardha Candra” (bulan). Di atas ceper ini diisikan sebuah “Porosan” yang bermakna persembahan tersebut harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya.
Di atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan “Wiswa Ongkara” (Angka 3 aksara Bali).
Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah “Sampian Urasari” yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan “Windhu” (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan “Nadha” (Bintang).
Bunga yang menjadi bahan canang sari harus segar dan harum, sebagai simbol ketulusan dan kesucian. Tak ketinggalan bunga yang dibentuk rampai, sebagai simbol kebijaksanaan.
Fungsi Canang
Canang digunakan sebagai suatu sarana ritual umat Hindu Bali dalam menyembah Ida Sang Hyang Widhi. Canang dipersembahkan setiap harinya mulai pukul 06.00 WITA dan sore menjelang malam.
Fungsi canang adalah sebagai sarana persembahan masyarakat Hindu Bali, seperti ketika purnama, tumpek, tilem, anggar kasih, dan kajeng kliwon. Canang juga banyak dipersembahkan pada hari raya besar umat Hindu.
Untuk hari raya besar keagamaan Hindu yang datang setiap 6 bulan sekali seperti Galungan, Pagerwesi, dan Kuningan, canang juga digunakan untuk turut melengkapi sesaji lain, seperti banten soda atau banten gebogan.
Canang merupakan inti penting dalam suatu persembahan. Canang ini yang membuat persembahan maupun suatu upacara menjadi sah.
Bentuk Canang
Proses membuat canang disebut sebagai proses mejejahitan dan biasa dilakukan dengan pisau yang disebut reringgitan. Untuk menjaga kesucian dari canang ini, harus menggunakan pisau khusus.
Canang tersusun atas beberapa bahan. Bagian wadah canang terbuat dari daun kelapa yang masih muda atau janur kelapa (busung).
Janur kelapa ini bisa dibilang merupakan bagian terpenting dalam canang. Janur ini digunakan untuk membuat bagian uras-sari atau sampian-uras yang berbentuk lingkaran.
Selain janur, canang juga terbuat dari semat. Semat merupakan batang bambu yang dipotong kecil-kecil menyerupai lidi dan ujungnya dibuat runcing.
Tujuannya agar dapat lebih mudah digunakan dalam proses mejejahitan. Meski begitu, belakangan ini semat sudah digantikan dengan staples.
Namun demikian, unsur inti dari canang yang wajib ada disebut sebagai porosan. Porosan terdiri atas pinang, sirih, dan kapur. Tanpa adanya porosan, maka canang tidak bisa disebut sebagai canang.
Porosan sendiri bermakna bahwa persembahan yang dihaturkan harus dilandasi oleh hati penuh belas kasih dan ketulusan di hadapan Sang Hyang Widhi.
Larangan Menginjak Canang
Wisatawan yang belum paham soal Canang dihimbau untuk berhati-hati. Jangan sampai menginjak, menendang ataupun melangkahi canang, terutama dengan niatan sengaja.
Menurut informasi dari beberapa ahli pembuat canang atau sesajen khas Bali, bagi yang sengaja merusak canang maka akan berakibat fatal baginya.
Salah satunya, akan mengalami kesurupan dan bahkan ada yang sudah terlanjur pulang ke tempat asalnya, namun harus kembali ke Bali untuk memohon ampun dengan roh halus di Bali.
Meski kalian tidak percaya pada hal mistis seperti ini, sebaiknya saat berkunjung ke suatu tempat, sebagai wisatawan harus menjunjung dan menghormati adat istiadat yang berlaku.
KA For GAEKON