Hanya Boleh Dihuni 7 Keluarga, Ini Fakta Kampung Pitu

0
Kampung pitu
Sumber Foto: www.vice.com

Gaekon.com – Kampung Pitu, berada di puncak Gunung Api Purba Nglanggeran, Yogyakarta. Kampung ini hanya dihuni oleh 7 keluarga. Mengapa demikian? GAEKON akan membagikan informasinya untuk kalian..

Sesuai dengan namanya, kampung ini hanya dihuni sebanyak 7 keluarga. Konon, kalau kampung itu dihuni lebih dari 7 keluarga, maka salah satu dari keluarga itu akan pergi dengan sendirinya.

Entah karena tidak betah dan memilih pergi, atau pergi untuk selamanya atau bahkan meninggal dunia. Sementara itu jika jumlah keluarganya kurang, maka secara otomatis akan terisi dengan sendirinya.

Telaga Goyangan dan Kinah Gadung Wulung

Kampung Pitu ini berada di Kalurahan Nglanggeran, Kapanewon Patuk, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) penampakannyapun seperti kampung pada umumnya.

Asal usul kampung pitu ini awalnya bernama Telaga Goyangan. Namun sudah sekian lama kampung itu berubah nama menjadi Kampung Pitu.

Konon, area yang kini merupakan persawahan dengan mata air itu adalah sebuah telaga. Telaga tersebut pernah digunakan untuk mencuci kuda semberani.

Cerita itu dipercaya secara turun-temurun. Bahkan warga meyakini, sisa tapak kaki kuda sembrani masih ada hingga saat ini.

Di sekitar Telaga Guyangan, sempat diadakan sayembara Keraton. Sayembara itu berbunyi akan memberikan hadiah tanah bagi siapa pun yang mampu menjaga pohon pusaka bernama Kinah Gadung Wulung.

Ternyata hanya dua orang yakni kakak beradik Iro Dikromo dan Tirtosari yang bisa menjaganya. Mereka dan anak cucunya diperkenankan tinggal di tempat itu.

Cikal bakal adanya Kampung Pitu berasal dari seorang kakek bernama Eyang Iro Kromo. Dia adalah orang yang pertama kali tinggal di Kampung Pitu.

Eyang mengetahui bahwa didaerah tersebut ada sebuah pohon, namanya Kinah Gadung Wulung. Dari pihak Kraton, siapa yang bisa menjaga pohon tersebut nantinya akan diberi lahan untuk anak cucunya kelak.

Juru kunci kampung pitu, Redjo Dimulyo sudah tinggal di kampung tersebut sejak ia lahir di tahun 1917. Sehingga dia sudah 100 tahun lebih tinggal di kampung itu.

Menurutnya, sejarah terbentuknya Kampung Pitu sudah tercipta sedemikian rupa oleh Tuhan. Redjo mengatakan bahwa kampungnya itu tidak bisa dihuni beda daerah dan hanya keturunan dari 7 keluarga itu saja.

Dihuni 7 Keluarga

Kampung Pitu hanya bisa dihuni oleh 7 kepala keluarga. Redjo bercerita bahwa dahulu pernah ada sebuah keluarga yang anggotanya meninggal semua kerena tetap memaksa tinggal di situ. Padahal saat itu, kampung tersebut telah berjumlah 7 KK.

“Sudah pernah ada kejadian di sini. Dulu pernah ada orang dari luar daerah mau tinggal di sini, tapi saya bilang tidak boleh. Katanya, tanah di sana milik negara, jadi ya mau ikut tinggal. Setelah tinggal di situ setengah bulan, keluarganya yang berjumlah empat orang meninggal semua,” terang Redjo.

Ada delapan rumah di kampung tersebut, namun hanya tujuh yang ditempati. Kepercayaan hanya ditinggali tujuh keluarga ini terus dipegang erat oleh masyarakat setempat hingga kini.

Kewajiban Penduduk Asli

Ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh penduduk asli yaitu melakukan “aksara empat” dan “aksara lima”. Ketika ia meninggalkan aksara tersebut, kemungkinan ia akan tiada.

Namun ketika ditanya lebih lanjut apa arti dari kedua istilah itu, Redjo mengatakan itu adalah sebuah rahasia dan syarat tersendiri jika ingin diketahui orang lain.

Selain itu, berat bagi orang luar untuk punya keinginan tinggal di Kampung Pitu. Hal ini dikarenakan orang yang sudah boleh tinggal di situ adalah mereka yang sudah mendapatkan “wahyu”. Setelah diperbolehkan tinggal, mereka juga harus menjalankan kejujuran, menjalin hubungan yang baik dengan penduduk lain, dan ikut melestarikan kampung.

Meski begitu, selama ini kehidupan masyarakat di sana selalu diberi kecukupan. Ketika tempat lain di Gunung Kidul kesulitan air, di sana air selalu tersedia.

Warga Kampung Pitu Pantang Menyelenggarakan Wayang Kulit

Ada kepercayaan lain yang terus diyakini hingga kini. Warga Kampung Pitu pantang menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit. Pasalnya, gunung di sekitar desa tersebut dinamakan gunung wayang.

Sehingga, warga kampung pitu memegang kepercayaan untuk tidak menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit.

KA For GAEKON