Hidup Itu Luas! Tapi Kita Asyik Berenang Dalam Kolam Dikotomi

0
Hidup Itu Luas! Tapi Kita Asyik Berenang Dalam Kolam Dikotomi

Gaekon.com – Ide tulisan ini muncul usai imam salah satu masjid besar di tanah air mengatakan, kita tak boleh saleh individual tapi juga saleh secara sosial. Batin saya meraung-raung tidak setuju.

Sebagai Gaekoners spontan saya berkata, lah bukannya kalau saleh itu ya sosial juga individual. Dua-duanya ada dalam unsur saleh. kalau saleh cuma satu tok, itu bukan saleh pak namanya!

Ada lagi obrolan dengan salah satu sahabat yang merasa bagi-bagi bantuan saat corona dengan cara diunggah ke medsos adalah salah satu bentuk riya’ dan malah bisa bikin amal mulia itu nggak diterima. Sek-sek, sek talah! Ayo alon-alon dipikir.

Masa sih, amal yang diumbar di medsos semuanya seratus persen untuk riya’? Daripada nuduh orang sakarepe udele ngunu, dan merasa amalnya nggak diterima, apa nggak sebaiknya didoakan biar amalnya diterima.

Gusti Allah Maha Halus Maha Lembut, masa ya nggak menghitung niat tulus meskipun hanya sekian persen. Cek mentolo dan kejeme! nek onok Tuhan model ngunu. Dibalik riya’nya orang itu kan ya ujunge ada orang kecil kelaparan yang terbantu toh? Daripada kon, nyangkem thok tapi gak ngekeki!

Saya rasa dua contoh gejala tadi adalah dampak dari cara berlaku terlalu akademis. Ciri akademis formal itu ya hidup dengan cara penggalan-penggalan. Penuh dikotomi. Penuh kamar-kamar dengan masing-masing pintu yang tidak terikat satu sama lain. Padahal hidup bak kamar luas yang bisa dimasuki dengan beragam pintu.

Saya contohkan begini. Khususnya bagi umat islam. Akademisi bilang ada Islam garis keras, fundamental, liberal, radikal, moderat, dan sebagainya. Kita yang rakyat awam ini lebih baik jangan tertipu dengan tipu daya terminologi itu.

Kalau tertipu ya modyar dewe. Seperti sekarang ini, kita bener-bener yakin kalau kita ini Islam yang A, B, C, dan semacamnya. Kita hidup seratus persen yakin cuma pada satu wilayah saja, sedang wilayah yang lain kita anggap sesat.

Padahal semuanya itu Islam. Tidak ada namanya islam itu seratus persen radikal tok, itu nggak ada. Soal bebojoan misal, dari seribu perempuan kita mantap beristri cuma satu. Iku wes radikal pol.

Bebojoan monogami juga menuntut kita untuk konservatif. Tidak bisa kita bersikap liberal. Suami boleh tidur dengan istri siapa saja. Dan istri boleh tidur dengan suami siapa saja. Bukankah demikian?

Sementara itu kita juga dituntut sebagai muslim yang liberal. Wong tuhan sendiri memerintahkan hambanya menggunakan akalnya, untuk berpikir dan menemukan pembaruan-pembaruan pemaknaan atas kuasa-Nya.

Dalam konteks lain kita malah harus bersikap fundamental. Contohnya dalam sholat lima waktu. Tidak bisa kita jadi moderat. Jumlah rakaat sholat tidak bisa kita ganti seenak jidat.

Contoh lain diluar Islam misalnya paham ekonomi dunia. Komunisme pun tidak seratus persen komunis. Tengok itu Tiongkok saat di pasar internasioanal dia malah menerapkan prinsip liberalisme.

Saya yakin hidup tak hanya penggalan. Hidup itu luas dan multidimensi. Semua unsur itu bisa melekat namun intinya adalah tepat dalam menentukan, ambil sikap yang mana untuk konteks apa.

Orep iku ibarat wong turu. Pas enak melumah, garai tindihan. Ganti miring, tangan geringgingen. Ganti mengkurep, ambekan sesek. Endi sing enak endi sing gak enak? yo sing enak turue!

Iku prosoku lo ya. Nek ancen kon gak percoyo dan ga gelem dikandani yo babah. Sebab, republik ini terlalu sibuk memperdebatkan siapa yang ngomong daripada apa yang diomongkan.

Wallahualam Bishawab

K For GAEKON