Gaekon.com – Beberapa hari kebelakang sempat terjadi silang pendapat antar lembaga islam gara-gara satu pihak kekeuh mengeluarkan fatwanya masing-masing. MUI Pusat berbeda fatwa dengan MUI DKI terkait pelaksanaan Sholat Jumat pada fase new normal Covid-19.
MUI DKI beranggapan Sholat Jumat boleh dilakukan dengan dua gelombang. Mengingat kapasitas masjid yang tidak cukup bila physical distancing diberlakukan.
Fatwa MUI DKI itu bernomor 05 Tahun 2020 tentang hukum dan panduan sholat Jumat lebih dari satu kali pada saat pandemi COVID-19. Fatwa dikeluarkan setelah membaca surat dari Sekretaris Daerah DKI Jakarta nomor 469/-0.856 perihal permohonan panduan pelaksanaan peribadatan dan kegiatan keagamaan.
Namun, MUI Pusat dan sebagian kalangan berpendapat fatwa yang dikeluarkan MUI DKI itu bisa jadi haram dilakukan. Alasannya macem-macem tapi ya tak jauh-jauh dari narasi Rasulullah tidak pernah mencontohkan hal seperti itu.
Beruntung polemik itu berbuah satu kesepakatan. Kamis 4 Juni 2020 kedua pihak bertemu. MUI DKI mengambil keputusan mengikuti taujihat atau arahan MUI Pusat terkait sholat Jumat ini. MUI DKI membatalkan fatwa Sholat Jumat boleh dua gelombang.
Merespon hal itu, saya sebagai Gaekoners sangat gembira. Adanya rembug bersama, sinau bareng dalam merumuskan fatwa seperti itu adalah preseden baik bagi umat.
Mbok ya itu ditiru oleh ormas Islam lainnya. Jangan cuma berlaku di tubuh MUI saja. Karena selama ini umat Islam di Indonesia ini kok pecah berkeping-keping dalam hal fatwa menurut saya.
NU bikin fatwa sendiri, Muhammadiyah sendiri, LDII sendiri, MUI Pusat sendiri, MUI DKI sendiri. Persis juga bikin sendiri, sempalan HTI juga bikin. Capek kita sebagai umat bos!
Nggak biasakah fatwa yang berjuta-juta itu dilebur jadi satu. Bukan supaya dikompak-kompakkan alasannya. Tapi ada yang jauh lebih penting, yaitu satu suara dalam hal peribadatan.
Mungkin yang berseberangan ide dengan saya pasti sudah auto komentar seperti ini, perbedaan itu rahmat, jadi ya jangan dipaksa jadi satu lah. Atau komentar lain seperti, fatwa banyak tapi dijalani dengan rukun lak yo gak masalah seh.
Yakin seperti itu? Ayok mulai berpikir, apa iya perbedaan itu kebanyakan jadi rahmat? Sepanjang hidup saya dominan selalu menjumpai orang NU beribadah sendiri dengan mengikuti fatwa ormasnya. Pun hal itu berlaku juga dengan orang Muhammadiyah. Sampai-sampai antar mereka saling lempar statement baper. Jangan sholat disitu, itu masjid Muhammadiyah! Atau, itu kalau catnya ijo-ijo biasanya masjid NU. Sejak kapan masjid itu untuk dua ‘agama’?
Belum lagi pola hubungan sosial kemasyarakatan yang ikut-ikutan kena efeknya gara-gara pemadatan Islam seperti itu. Bulan Puasa lalu saya mengalami betul bagaimana pola berpikir tak ingin jadi satu itu kentara. Saat adzan Maghrib penanda buka puasa, orang NU tulen di sekitar saya mendengar adzan lalu berseloroh. Belum boleh makan anak-anak, itu adzannya Masjid Muhammadiyah. Mak cep atiku ngerungokno omongan iku. Sejak kapan adzan iku ga digawe seluruh umat Islam?
Kalau kondisi masih ngene-ngene wae, lalu apa kabar itu term Umatan Wahidah? Jadi saya mendambakan betul suatu saat nanti, ketika hendak menyerukan fatwa. Semua ormas berkumpul, berembug, mencari kesepakatan sehingga muncul satu fatwa yang dipakai bersama-sama oleh umat. Pertanyaannya, pernahkah hal itu anda saksikan? Dan kapan ya itu bakal segera terwujud?
Kalau lihat islahnya MUI Pusat dan MUI DKI sih, nggak lama lagi rembug nasional antar ormas Islam se-nusantara itu kunjung terjadi.
Wallahualam Bisshowab
K For GAEKON