Gaekon.com – Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pasti anda paham betul jargon demokrasi macam demikian. Tapi kok menurut saya itu cuma jargon klise penuh akal bulus. Nyatanya, reformasi yang mengagungkan demokrasi sejak Mei 98 sampai sekarang, peran rakyat nggak banyak dilibatkan dalam jalannya negara.
Tengok itu utang luar negeri Indonesia yang terus bertambah dan bertambah. Sampai posisi ini apa pernah rakyat dilibatkan? Pernahkah penyelenggara negara menyapa rakyat sambil bertanya perlukah kita berhutang? Atau semacam bikin jajak pendapat bagi seluruh WNI bolehkah pemerintah berhutang?
Oleh utangan yo negoro gak tau ngereken awak dewe. Wahai rakyatku, pemerintah oleh utangan Iki. Kiro-kiro duite dibelanjakno gawe opo wae yo? Pernah kiranya anda dapat sms, broadcast wa, email dari perwakilan pemerintah seperti itu?
Kalau tidak pernah sama sekali. Yo Endi heh! Jare dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat!!!
Pantes kalau baru-baru ini perwakilan mahasiswa menerima tantangan salah satu menko di Istana. Mahasiswa dari Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI) menyatakan siap meladeni Luhut kapan saja. Mereka siap menerima tantangan Bapak Luhut buat debat soal utang negara. Kapan saja, dimana saja. Nah, pak Luhut ayok itu janjian ketemuannya diseriusin.
Arek-arek ISMEI menyoroti mengapa sejak Jokowi memimpin utang Indonesia makin fantastis. Sementara rakyat sama sekali tidak dilibatkan.
Dilibatkan seh menurutku sebagai pihak pewaris hutang. Yo sebatas iku wae keterlibatan rakyat. Nek ga setuju ngacungo! Aku kok pesimis. Heuheuheu.
Posisi utang luar negeri Indonesia saat ini berdasarkan data dari Kementerian Keuangan hingga April 2020 mencapai Rp 5.172,48 triliun. Saya sebagai rakyat awam ini menganggap angka yang terus bertambah itu karena ada pihak yang mengaku menjalankan prinsip demokrasi tapi nyatane ora demokratis blas.
Saya ibaratkan pemerintah iku Bapak, sedangkan Ibu itu negara. Sementara rakyat adalah anak-anak dari kedua orang tua tersebut. Bapak ini suatu saat bertindak gembelengan. Kerjanya dipertanyakan. Profesinya tak begitu jelas.
Penghasilannya kurang mulu. Bukannya meningkatkan produktivitas dengan cari kerjaan baru yang gajinya lebih gede atau cari side job. Sang bapak ini malah cari jalan keluar dengan berhutang.
Sudah gitu nggak rembug dulu sama Ibu dan anaknya pula. Saking seringnya hutang sampai-sampai Bapak berteman akrab dengan si pemberi utang. Bapak pun lupa nasib sejati yang harus ditanggung ibuk dan anaknya di kemudian hari.
Saya pun kasian pada Bapak. Kalau melihat Bapak seperti itu bawaanya saya ingin membantu dengan ngasih shodaqoh sebesar-besarnya. Tak usahakan aku bayar pajak nggak pernah telat dan nggak pernah mangkir.
Atau yang remeh-remehlah. Contohnya bikin Surat keterangan sehat di Puskesmas. Saya relakan uang Rp 20 ribu untuk menukarnya dengan sehelai kertas. Tanpa saya merasakan jasa medis. Tanpa saya diperiksa benar-benar sehat apa tidak. 100 persen uang itu untuk membeli kertas.
Tapi Nggak apa-apa wes. Kalau saya ingat perihal utang Bapak yang sudah mencapai Rp 5.172,48 triliun itu, saya jadi nggak tega.
Mau menuntut sebaiknya layanan bikin surat sehat itu digratiskan saja, kok ya kasian saya. Kasian utang Bapak banyak dan sebentar lagi keluarga diambang perpecahan.
K For GAEKON