Gaekon.com – Saya mendukung betul adanya Pancasila. Tapi kok ternyata, saya mendapati diri saya pribadi bukan pancasilais. Ada darah kapitalisme dalam tubuh saya. Yang mengalir di tiap laku dan cara pandang saya terhadap dunia. Saya pengingkar Pancasila!
Tulisan ini bisa dibilang semacam otokritik. Selain itu tulisan ini hanya argumen pribadi mengenai gejala sosial yang timbul di masyarakat. Yang tentunya, tidak jauh-jauh amat dari lingkungan kehidupan penulis.
Ada semacam goal atau tujuan berbangsa dan bernegara dari falsafah Pancasila. Cita-cita itu tertuang di sila kelimanya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rasanya kok begitu sosialis ya kalau kita mendengar nada pernyataannya.
Adil bagi seluruh rakyat. Itu adalah kata kuncinya. Tapi benarkah negara sudah menjamin keadilan sosial? Sudahkan bagi seluruh rakyat?
Tampaknya kok belum dan tidak akan. Saya tidak akan menagih-nagih negara. Kalau ternyata hajat hidup harus saya tanggung sendiri seluruh biayanya. Ya air, ya listrik, ya pendidikan, ya kesehatan. Ya negara hidup dari uang pajakku. Kabeh mbayar dewe gakpopo wes. Blas eson gak Pateken!
Maafkan kalau saya sepesimis itu. Sebab saya melihat bangsa ini sedang termakan gejala globalisasi dengan kapitalisme sebagai nafas kehidupannya.
Bagi yang kontra pasti bilang begini merespon tulisan ini. Lha kok kapital disalah-salahkan? Tanpa arus modal, kepemilikan, kapital, dunia ini tidak akan bergerak maju.
Kapital penting, penjual tahu tidak akan bisa dagangan lagi tanpa adanya kapital. Tanpa ada sekian persen uang yang dia sisihkan untuk modal, ya tidak ada tahu diantara kita. Tanpa adanya kapital dunia tidak akan bergulir.
Yang negatif adalah ketika dia di-isme-kan. Digadang-gadangkan, dielu-elukan, sampai akhirnya disembah. Celakanya manusia takluk. Apa pun itu didahulukan dan ia mendahulukan asal muaranya adalah capaian kepentingan kapital.
Padahal paradigma impor itu bertolak belakang dengan Pancasila. Lihat kata kunci ‘adil’ yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sampai-sampai akrab di telinga kita jargon adil makmur. Diksi katanya kok bikin penasaran ya? Kenapa tidak makmur dulu lantas adil? Kenapa kok tidak mendahulukan kepemilikan pribadi dulu daripada kepentingan sosial?
Ada penjelasan singkat seperti ini. Ya adil dulu dong baru makmur. Kalau makmur duluan belum tentu adil. Mangan bareng, gak mangan yo bareng! Ojok Kon mangan enak tapi tonggomu keluwen gak karuan!
Contohnya ya tengok itu kesenjangan sosial. Tak usah jauh-jauh di ibu kota, di desa kecil di pesisir Lamongan pun juga ada. Rumah gubuk reyot bersanding dengan rumah bak Istana.
Secara tidak sadar saya juga berlaku demikian. Makmur dulu lah. Yang penting kita survive dulu. Kenyang bisa makan dulu. Persetan dengan permasalahan tetangga. Syukur kalau ada lebih baru nolong tetangga.
Saya hidup dengan mengingkari betul sila kelima Pancasila. Tonggoku gak iso mangan Yo babah, penting aku mangan. Tonggoku duwe utang, Yo bayaren Dewe Kono! Aku Yo butuh duwek! Tonggoku gak iso Bayar SPP anake Yo Babah.
Onok dulur gak mampu tuku susu gawe anake Yo Babah! Sing penting anakku gak ngunu! Dulur opname kesulitan bayar biaya kesehatan, mosok tau urun amplop. Dulur ngalor ngidul mlaku ae Yo Babah. Sepatuku apik sandale dulurku jebol Yo Babah. Aku pamer jam tangan uapik, dulurku ga duwe jam tangan siji ndil, Yo Babah. Dan masih banyak, sederet babah babah yang lain.
Jadi kok saya ndak pantes, mau ngomplain negara. Mau nagih-nagih birokrat pemerintah untuk berubah lebih baik. Sedang eksponen terkecil dari negaranya adalah orang-orang macam saya.
#suaragaekoners
K For GAEKON