Gaekon.com – Sejak pandemi virus Covid-19 melanda Indonesia awal maret yang lalu, proses belajar mengajar di sekolah termasuk sektor pertama yang terdampak. Mulai tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
Per tanggal 24 Maret 2020, Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Edaran No. 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19.
Hal yang diatur lewat surat sakti tersebut, Ujian Nasional (UN) tahun 2020 dibatalkan, pembelajaran daring diterapkan, dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat dialihkan untuk pengadaan alat kebersihan dan membiayai pembelajaran jarak jauh.
Ide yang cemerlang, niat yang baik, namun pelaksanaan di lapangan amburadul. Mungkin ada yang tidak terpikirkan, bahwa tak semua daerah di Indonesia dapat dijangkau sinyal internet yang merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran daring seperti ini.
Kalau di daerah perkotaan, masih boleh dibilang infrastruktur jaringan sudah cukup memadai. Tapi bagaimana dengan anak didik yang tinggal di daerah terpencil? Yang jangankan internet, siaran televisi, bahkan listrik saja belum menjangkau?
Tentu bagi mas menteri Nadiem yang terbiasa hidup dalam lingkungan penuh fasilitas di Jakarta, hal seperti ini mungkin tidak pernah dibayangkan. Namun inilah kenyataannya.
Belum lagi faktor geografis, dimana Indonesia merupakan negara kepulauan, dan “pusat pembangunan” mayoritas terletak di pulau Jawa. Semakin jauh, anggaplah daerah Timur Indonesia, kemungkinan besar semakin susah pula para murid mengikuti proses pembelajaran model begini.
Yang tinggal di kota, okelah aksesnya terbuka untuk internet, listrik dan tetek bengeknya. Lah gawai yang akan digunakan? Apakah harus menunggu orang tua mereka tak memakai ponsel baru mereka bisa menggunakan? Lalu bagaimana dengan pulsa? Siapa yang akan terus membelikan kuota untuk belajar?
Bagaimanapun, kehadiran guru secara fisik masih dibutuhkan. Pengabdian beberapa sosok guru yang rela berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengajar murid mereka dalam situasi sekarang, haruslah mendapat perhatian dan penghargaan pemerintah.
Sudah terlalu lama, guru baik yang berstatus tetap ataupun honorer, masih tak mendapat hidup yang layak. Terinjak oleh guru asing, yang dibayar setinggi langit. Sedang anak bangsa sendiri yang ingin berbakti, malah bagaikan harus mengemis.
Toh dulu Ki Hajar Dewantara dapat mengembangkan Taman Siswa tanpa internet, televisi maupun listrik. Masa milenial seperti Nadiem Makarim tak mampu berinovasi untuk menggunguli beliau?
Semakin lama pandemi ini berlangsung, semakin lama pula hak anak didik di pinggiran dikebiri. Kurva Corona bakal melandai suatu saat, tapi jangan pada saat itu, kurva ‘yang tek terdidik’ naik tajam.
W For GAEKON