
Para ahli menyuarakan kekhawatiran terkait potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan soal pembentukan Holding BUMN Ultra Mikro (Danantara) yang mengelola aset negara senilai Rp14,670 triliun.
Minimnya detail mekanisme pengelolaan dan pengawasan yang transparan meningkatkan kerentanan terhadap mismanajemen.
Ketidakpastian iklim investasi global juga memperparah risiko ekonomi makro yang mungkin ditimbulkan.
Kemudian muncul juga kekhawatiran inefisiensi operasional BUMN akibat penambahan lapisan hierarki manajemen.
Potensi mobilisasi dana untuk kepentingan politik juga menjadi sorotan, mengingat Danantara berada langsung di bawah presiden.
Ketidakpercayaan publik, terbukti dari penarikan dana massal dari bank BUMN, semakin memperkuat urgensi transparansi dan akuntabilitas yang tinggi.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menekankan pentingnya menjaga transparansi untuk meningkatkan daya saing Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).
“Tanpa transparansi, Danantara bisa berubah menjadi beban negara, bukan solusi,” ujarnya dilansir Antara.
Tantangan utama yang harus dihadapi adalah potensi benturan kepentingan, intervensi politik, dan moral hazard dalam pengelolaan.
Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menuturkan, Pengelolaan Danantara juga harus bebas dari potensi korupsi yang masih marak di Indonesia.
Good Corporate Governance (GCG) yang baik harus diterapkan untuk meningkatkan kepercayaan investor, baik domestik maupun asing, agar tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.Samirin menekankan pentingnya tata kelola yang bersih, transparan, dan akuntabel dalam menghadapi tantangan ekosistem usaha yang sulit di Indonesia.
“Membangun GCG terbaik adalah satu-satunya jalan untuk mengantisipasi ekosistem berusaha yang sangat buruk dan menghindari perilaku abusive tersebut. Mekanisme GCG eksternal dan internal harus dimaksimalkan,” tegasnya.
KA For GAEKON