Peneliti Menguak “ Petrichor” Aroma Khas Setelah Hujan

0

Peneliti Menguak “ Petrichor” Aroma Khas Setelah Hujan

Hujan menjadi salah satu momen yang disukai beberapa orang. Karena dengan hujan, udara yang tadinya panas berubah menjadi sangat sejuk. Apalagi jika hujan datang di sore hari akan menambah suasana semakin nikmat.

Hujan yang datang membawa udara segar ini seringkali meninggalkan bau khas ketika sudah mulai reda. Apalagi bagi orang yang rumahnya banyak tekstur tanah, maka aroma yang ditimbulkan dari hujan ini semakin tercium.

Seperti yang dilansir GAEKON dari CNN, aroma dari air hujan yang menyentuh tanah berhasil dikuak oleh peneliti. Aroma khas ini dijelaskan peneliti disebabkan oleh sebuah bakteri yang berevolusi agar mampu menghasilkan aroma tersebut. Selain itu, aroma ini sebagi contoh komunikasi kimia berusia 500 juta tahun yang berevolusi dan berkembang secara alami.

Bakteri tanah bernama Streptomyces yang memunculkan aroma tersebut. Hal ini dilakukan untuk menarik Antropoda tertentu agar bisa menyebarkan spora. Antropoda tersebut adalah makhluk primitif berkaki enam yang disebut Springtails (Collembola).

Peneliti menerangkan bahwa berbagai senyawa organik dapat dihasilkan secara global oleh Streptomyces. Selain itu bakteri ini telah dieksploitasi oleh manusia sebagai antibiotik paling efektif di dunia. Dilansir dari Miragenews, Streptomyces juga menghasilkan geosmin dan berbagai senyawa organik mudah menguap lainnya (VOC).

Dalam sebuah studi pada 1960, dua peneliti Australia menyebut aroma tersebut sebagai petrichor. Aroma tersebut sangat menonjol ketika hujan pertama musim mencapai tanah kering. Salah satu komponen utama petrichor adalah senyawa organik yang disebut geosmin. Hampir semua spesies Streptomyces melepaskan geosmin ketika mereka mati.

“Fakta bahwa mereka semua membuat geosmin menunjukkan bahwa itu memberi keuntungan selektif pada bakteri, kalau tidak, mereka tidak akan melakukannya,” ujar seorang penulis dalam penelitian ini, Mark Buttner yang dikutip dari CNN.

Para peneliti juga menemukan geosmin secara khusus menarik sejenis Antropoda kecil yang disebut springtails. Buttner juga menambahkan, para peneliti curiga bahwa Streptomyces memberi sinyal pada beberapa hewan atau serangga yang mungkin membantu mendistribusikan spora Streptomyces.

Para peneliti mempelajari antena springtails dan menemukan bahwa organisme tersebut dapat langsung merasakan geosmin. Akhirnya dugaan kedua organisme tersebut berevolusi bersama itu muncul. Streptomyces berfungsi sebagai makanan untuk springtails, sedangkan springtails kemudian menyebarkan spora Streptomyces membantu benih koloni Streptomyces baru.

“Proses ini saling menguntungkan. Springtails memakan Streptomyces, geosmin menarik Springtails ke sumber makanan. Kemudian springtails menyebabkan spora, yang menempel di tubuh  dan di feses. Sehingga Streptomyces tersebar,” ungkap Buttner.

Hubungan simbiosis mutualisme ini adalah kunci untuk kelangsungan hidup Streptomyces. Karena bakteri diketahui menghasilkan senyawa antibiotik tertentu yang membuatnya beracun bagi organisme lain seperti lalat atau nematoda.

Hal ini sama dengan burung yang memakan buah tanaman. Mereka mendapatkan makanan tetapi mereka juga mendistribusikan benih, yang bermanfaat bagi tanaman.

Selain itu, Springtails juga menghasilkan sejumlah enzim baru dan dapat menetralisir antibiotik yang diproduksi oleh Streptomyces.

“Kami dulu percaya bahwa spora Streptomyces didistribusikan oleh angin dan air, tetapi hanya ada sedikit ruang bagi angin atau air untuk melakukan apa pun di kompartemen udara kecil di tanah,” kata Buttner.

KL For GAEKON