Gaekon.com – Melihat Walikota Surabaya Tri Rismaharini mencak-mencak soal mobil ambulans PCR yang harusnya untuk mengetes warga Surabaya namun dilarikan ke Tulungagung dan Lamongan, memang bikin perasaan campur aduk.
Ada rasa trenyuh dan bangga melihat sosoknya yang ngotot membela hak warga Surabaya, namun di sisi lain ada pemikiran nakal, “Ojok-ojok iki mek pencitraan?”
Selama ini Risma memang dikenal sebagai sosok yang populer di media, lebih populer dibanding ‘atasan’nya, Khofifah. Sama seperti Jokowi yang lebih populer saat menjabat Gubernur Jakarta dibanding Presiden SBY.
Ini bisa jadi menyiram bensin ke atas api dalam sekam antara hubungan keduanya. Bukan rahasia umum jika mereka sempat berseteru saat pilgub Jatim 2018 yang lalu.
Risma sempat menyindir Khofifah sebagai calon yang ‘keminter’ alias sok pintar. Dan ketika Khofifah menang, tentunya hal ini tak segampang itu dilupakan dan dimaafkan oleh Khofifah.
Ditambah lagi dengan sepak terjang Risma di Surabaya, sebagai ibukota provinsi Jatim. Sebagai kader partai pemenang pemilu, PDIP, Risma terbiasa melakukan komunikasi langsung ke pusat tanpa ‘kulo nuwun’ dulu dengan Khofifah.
Hubungan keduanya yang dikabarkan sempat mencair, tampaknya kembali memanas saat pandemi Covid-19 masuk di Jatim. Risma pada awal-awal, langsung bergerak cepat menempatkan personelnya di 19 titik masuk Surabaya.
Hal ini menyinggung Khofifah, hingga sempat terlontar ucapan bahwa pemerintah daerah harus sejalan dengan pusat. Pernyataan ini seolah menyindir Risma, dan terbukti Risma lantas menarik kembali personelnya, hanya untuk diisi beberapa waktu kemudian atas instruksi Khofifah.
Soal klaster pabrik rokok Sampoerna pun, menunjukkan tidak adanya harmoni antar pemprov dan pemkot. Pemprov menuding pemkot lambat menanggapi hal ini, sedang pemkot membela diri dengan mengatakan semua tindakan mereka sudah terukur dan tepat waktu.
Teranyar, mobil PCR bantuan BNPB Pusat, seolah menjadi rebutan antar Surabaya dengan daerah lainnya di Jatim. Yang seharusnya (menurut Risma) ada di Surabaya untuk melakukan pengetesan terhadap warganya, kok malah dibawa ke Tulungagung dan Lamongan.
Merasa disabotase dan diframing bahwa dirinya tak bisa bekerja, Risma pun akhirnya ngamuk, muntab, bahkan mengancam akan membuka kenyataan yang terjadi. Namun apakah benar demikian?
Sebab menurut Ketua Gugus Kuratif Percepatan Penanganan COVID-19 Jatim, dr Joni Wahyuhadi, mobil PCR itu dibawa karena tidak ada koordinasi dari Dinkes Pemkot Surabaya. Hal senada juga diungkap Kalaksa BPBD Jatim, yang malah mengatakan bahwa mobil PCR itu adalah bantuan untuk ‘Jawa Timur’, bukan hanya untuk ‘Surabaya’.
Sejumlah aktivis di Surabaya malah curiga, bahwa Surabaya akan dikorbankan menjadi Wuhan kedua, agar Risma dicap tak kompeten, dan kredibilitas dirinya jatuh. Ini erat hubungannya dengan pilwali Surabaya 2020.
Bila pencapaian Risma bisa dikebiri karena dianggap tidak kompeten menangani penyebaran Covid-19 di Surabaya, calon yang diajukan oleh Risma bisa juga dianggap produk gagal. Otomatis, calon lainnya bakal punya peluang lebih besar.
Sejauh ini, lawan yang paling berat bagi Risma maupun PDIP di pilwali Surabaya, tak lain adalah Machfud Arifin, mantan Kapolda Jatim yang telah diusung 7 partai besar. Khofifah pun tampaknya tak ingin lagi ada kerikil dari Surabaya, ketika menjadi pemimpin Jatim.
Rakyat jelata, baik warga Surabaya maupun Jatim, hanya bisa melihat dengan pasrah pertarungan dua gajah politik di tengah pandemi Corona yang melanda Surabaya dan Jatim. Terlepas dari siapa salah siapa benar, ada strategi politik apa di balik ini semua, harusnya pemprov maupun pemkot sadar, bahwa di tengah situasi seperti ini, ‘menang jadi arang, kalah jadi abu’.
Nyawa warga yang akhirnya harus dikorbankan, hanya untuk memenuhi agenda politik dalam perebutan kekuasaan. Akankah ada perdamaian, atau terus berlanjut pertikaian ini? Bagaimana pendapat anda?
#suaragaekoners
W For GAEKON