Masalah terorisme menghantui kembali Indonesia. Masih segar di ingatan public rentetan serangan teror. Mulai dari Markas Komando Brigade Mobil (Brimob) Polri (8-19/5), lalu tiga gereja di Surabaya Minggu (13/5) secara simultan menjadi target ledakan bom. Berlanjut malam harinya di Rusunawa Wonocolo terjadi ledakan bom makan tuan. Senin (14/5) Mapolrestabes Surabaya diguncang bom bunuh diri, dan serangan teror di Mapolda Riau Rabu (16/5) menjadi pamungkas kelima aksi teror paling anyar di Indonesia.
Serangkaian aksi keji tersebut membuat pemerintah mendesak DPR untuk segara mengesahkan Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme). Tidak hanya pemerintah, baik Presiden maupun Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kompak satu suara. Kedua pihak menyudutkan DPR yang sangat alot untuk memberikan restu disahkannya RUU Antiterorisme.
Bahkan dalam Sidang Paripurna 18 Mei 2018, isu tersebut menjadi titik berat jalannya sidang. Dapat dilihat pembahasan tentang RUU Antiterorisme mendapat banjir interupsi anggota dewan. Banyak poin yang menuai pro kontra.
Definisi
Pertama, perdebatan alot tentang definisi terorisme. Ada banyak perbedaan pendapat. Mulai dari kubu yang menilai beberapa kata seperti teror, terorisme, kelompok teror dan tindakan teror harus memiliki pengertian yang jelas dalam undang-undang. Karena tiap kata tersebut memiliki perbedaan masing-masing yang sangat mendasar.
Pentingnya pembahasan soal definisi tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk menghindari subyektivitas aparat dalam penanganan terorisme. Definisi yang jelas juga membuat jalannya penanganan berlaku secara fokus dan berdaulat. Sebab, propaganda asing dan intelijen internasional bisa masuk ke dalam jaringan terorisme global.
Namun, pihak lain yang kontra menilai definisi hanya akan membuat proses hukum berbelit. Yang terpenting adalah penentuan pidananya bukan pada penentuan ideologi penanganan terorisme.
Dalam draft RUU Antitetorisme pada 18 April 2018, tertulis definisi terorisme adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan maksud menimbulkan suasana teror atau rasa takut atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Sedangkan definisi tindak pidana terorisme adalah segala bentuk perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
TNI Dilibatkan
Kedua, dalam draft terakhir, TNI ikut dilibatkan dalam kasus terorisme. Personel dari satuan antiteror dari tiga matra TNI antara lain Detasemen Bravo-90 TNI Angkatan Udara , Detasemen Jalamangkara (Denjaka) TNI Angkatan Laut, dan Detasemen Khusus-81 Penanggunalangan Teror Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat akan kembali terjun membantu Polri dalam penanganan terorisme di Indonesia.
Wacana tersebut mendulang perdebatan dalam pembahasan RUU Antiterorisme. Salah satu penyebabnya adalah memasukkan peran TNI dalam RUU itu tidak perlu. Bahkan hal itu bertentangan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebagai satu dari 14 operasi militer selain perang (OMSP). Tanpa dimasukkannya TNI dalam RUU Antiterorisme, TNI sudah mengemban mandat dalam penanganan terorisme. Selain itu, dalam Undang-Undang Pertahanan Negara peran TNI dan Polisi sudah tercatat.
Anggota pansus terdiri dari Komisi I yang berisi komisi hukum dan komisi keamanan yang bermitra dengan TNI. Komisi ini membuat lebih akomodatif dengan wewenang TNI pada penegakan hukum kasus terorisme.
Sementara, komisi 3 tetap ingin penegakan hukum kasus terorisme tetap dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sebab wewenang TNI ada dalam ranah ancaman Negara bukan pada ranah hukum terorisme.
Bila TNI ikut dilibatkan maka akan terjadi perubahan paradigma penegakan hukum terorisme di Indonesia. Bukan tidak mungkin perubahan itu mengacu seperti di Negara barat. Saat ini model penanganan teror di Indonesia masih dalam domain criminal justice system model sehingga wewenang terbesar dalam penanggulangan terorisme lebih banyak dipegang kepolisian.
Berbeda dengan Negara barat, seperti Amerika Serikat misalnya. Penanganan terorisme adalah dalam ranah war atau perang. Sehingga peran dan pendekatan militer sangat sentral. Dalam hal ini TNI memang sudah dilibatkan dalam penanganan terorisme. Seperti yang masih segar dalam ingatan yaitu perburuan pelaku teror Kelompok Santoso yang melibatkan TNI dan Polri. Namun, sampai saat ini statusnya adalah sebagai perbantuan.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menegaskan nantinya pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisem masih menunggu disahkannya RUU Antiterorisme berikut Peraturan Pemerintah (PP). Menurutnya, pelibatan TNI akan menyesuaikan kebutuhan penindakan.
Pemidanaan
Ketiga, perkara pemidanaan juga menjadi hal yang diperdebatkan dalam RUU Antiterorisme. Dalam draft, ruu ini menyebutkan teknis penetapan jangka waktu tersangka pelaku teror. Aparat bisa menahan tersangka sampai 30 hari. Terlebih, mereka yang terbukti maka paspornya dicabut. Pernyataan ini kiranya untuk menjawab persoalan banyaknya WNI yang pulang dari Suriah dan diduga menjadi simpatisan ISIS. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tercatat sedikitnya 150-an orang Indonesia yang kembali dari Suriah –mereka diduga terlibat ISIS sepanjang 2014-2015.
Penambahan masa tahanan yang tidak berdasar itu lah yang memunculkan polemik. Penyebabnya, lamanya waktu penahanan hingga sebulan itu bertentangan dengan prinsip HAM. Pasal lain yang dinilai melanggar HAM adalah seperti pencabutan kewarganegaraan bagi WNI yang terbukti tersangkut kasus terorisme.
Sebelumnya, terdapat Pasal 28 dalam draf RUU Antiterorisme (Pasal Gauntanamo) yang membuat perdebatan pelik antara DPR dengan pemerintah sampai tiga bulan lamanya. Pasal tersebut menjadi sorotan besar Karena usulan pemerintah yang menghilangkan frasa “berdasarkan bukti permulaan yang cukup” menjadi hanya berbunyi “penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindakan terorisme dalam waktu paling lama 30 hari”. Untungnya secara aklamasi pasal tersebut sepakat ditolak DPR. Namun pemerintah baru-baru ini kembali ingin pasal tersebut diaktifkan kembali.
Fakta yang mendasari penolakan itu adalah sering terjadinya salah tangkap aparat kepada seseorang yang diduga pelaku terorisme. Contohnya yang menimpa Siswoyo di Jawa Tengah. Komnas HAM mencatat ada sekitar 210 orang terduga teroris tewas tanpa sempat menjalani prose peradilan. Perbuatan tersebut merupakan extrajudicial killing atau pembunuhan di luar sistem hukum. Dikhawatirkan pasal tersebut bisa meningkatkan subyektivitas aparat dalam penangkapan pelaku teror.
Baik pemerintah maupun DPR sepakat untuk mempercepat pengesahan RUU Anttiterorisme. Bahkan Presiden Jokowi sampai mengancam bertindak tegas apabila DPR tidak kunjung terlambat mengesahkan RUU tersebut.
Tak tanggung-tanggung Jokowi akan kembali mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) sebagai pemecah jalan buntu apabila sampai masa sidang di akhir Juni RUU tak kunjung disahkan. Artinya, sebelum lebaran RUU tersebut ditarget harus selesai.
Terakhir, sebagai rakyat yang cerdas. Diam-diam dalam hati kita berhak bertanya, Munculnya serentetan aksi teror sepuluh hari sebelum Sidang Paripurna. Lalu, tuntutan pemerintah dan polisi untuk segera mengesahkan RUU Antiterorisme. Ada apa dibalik itu semua? Apa hilirnya? Apa imbasnya buat rakyat?
S For GAEKON