Apa Yang Kita Dapatkan Dari Pseudo Demokrasi?
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang meletakkan kekuasaan dan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Namun, pada praktiknya kemuliaan prinsip tersebut diciderai oleh desain sistem demokrasi itu sendiri. Jangan salahkan bila ada rakyat yang merasa tidak benar-benar diwakili oleh pemerintah. Penyebabnya adalah mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam urusan bernegara.
Contoh konkret betapa rakyat tidak pernah dilibatkan adalah desain politik dewasa ini. Ambil kasus soal pemilu yang masih fresh kita alami barusan. Pemerintah tidak pernah melibatkan rakyat di segala lapisan untuk menentukan formula baku yang baik untuk sistem politik masa depan.
Tengok saja bagaimana pemilu 2019 berlangsung dengan presidential tresshold-nya. Pakem yang baru pertama kali ada di pemilu Indonesia. Dimana pencalonan presiden dan wakil presiden ditentukan dengan ambang batas perolehan kursi.
Dasar legal presidential tresshold ada di Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pada pasal 222 UU Pemilu menyatakan pasangan calon pemilu 2019 diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.
Ketentuan tersebut sangat berbau politis dan menguntungkan lembaga incumbent. Terlebih kalau menilik lebih jauh ketentuan tersebut juga inkonstitusional. Dalam UUD 1945 tidak ada satu pun pasal yang menyebut adanya angka 20 persen dan 25 persen. Frasa tersebut hanya muncul di UU Pemilu. Bukannya UU harusnya menjalankan perintah konstitusi? Atau UU yang mengatur konstitusi?
Anehnya, MK sebagai lembaga konstitusi negara malah merestui disahkannya UU Pemilu. MK menolak uji materi pasal 222 UU Pemilu. Keputusan itu dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan atas uji materi yang disampaikan oleh Partai Idaman di Gedung MK 11 Januari 2018.
Artinya, baik lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif sepakat menginginkan presidential tresshold. Lalu dimana suara dan peran rakyat dalam urusan tersebut? Rakyat dalam pseudo demokrasi tidak pernah dilibatkan dalam ranah kebijakan. Rakyat akan dan selalu dianggap bodoh sehingga harus ‘diwakili’ dalam hal apapun.
Saat segala lapisan rakyat tidak dilibatkan maka petaka jelas menimpa negara. Inisiatif para elit eskekutif, legislatif dan yudikatif yang ingin menyederhanakan kontestan pemilu malah membuat kondisi bangsa hancur. Pemilu 2019 yang baru kita jalani adala bukti nyata. Betapa arus polarisasi dan segregasi sangat kental karena hanya ada dua kontestan Pemilu 2019.
Perbedaan politik yang tidak disikapi kedewasaan malah mengakibatkan munculnya kebencian yang bermuara pada konflik antar pendukung kontestan. Sistem presidential tresshold mempengaruhi retaknya persatuan bangsa dan negara.
Obral Status Darurat
Pengabaian terhadap peran rakyat bisa membuat wajah demokrasi pelan-pelan menjadi tirani. Dikatakan demikian sebab wakil rakyat sering kali menggunakan kekuasaannya sewenang-wenang dan bertindak sesuka hati. Bentuk pemerintahan dianggap tirani bila menempatkan diri dan golongannya di atas kepentingan rakyat banyak.
Unsur tirani bisa dilihat dari tesis ahli filsafat asal Italia Giorgio Agamben sistem demokrasi modern di beberapa negara barat memiliki kecenderungan yang sama terkait penerapan status darurat suatu negara. Pernyataan keadaan darurat yang ditetapkan oleh pemerintah negara demokrasi bila ditelisik pada keadaan sesungguhnya ternyata tidak sejatinya darurat.
Tak perlu jauh-jauh, di Indonesia pun menerapkan praktik seperti itu. Mulai dari penyataan pemerintah yang menyoal darurat radikalisme, darurat konstitusi, darurat terorisme, darurat keamanan nasional dan sebagainya. Sayangnya terlalu sering mengeluarkan pernyataan kedaruratan malah membuat kepercayaan masyarakat turun terhadap pemerintah.
Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo juga mengamini pernyataan tersebut. Dalam buku “Demokrasi dan Kedaruratan” dia mengajak pembaca untuk menyelami pemikiran Giorgo Agamben tersebut.
Status darurat yang dinyatakan oleh petinggi negara nyatanya malah melanggar demokrasi itu sendiri. Sebab dalam kedaruratan ada beberapa aspek yang diabaikan. Seperti konstitusi yang boleh dilanggar, pembenaran kekerasan, dan asas trias politika dikesampingkan. Semakin sering status darurat dilontarkan pemerintah, maka semakin membahayakan demokrasi.
Misalnya itu terlihat saat pemerintah Jokowi-JK bersikap pada ormas HTI Indonesia. Pembubaran HTI berlangsung sangat responsif. Bayangkan dari sekedar Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas, Rapat Paripurna DPR bisa mengesahkannya menjadi sebuahb undang-undang.
Berdasarkan undang-undang tersebut untuk membubarkan ormas yang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, rasa tau golongan, penodaan agama, menganut dan menyebarkan faham yan bertentangan di pancasila bisa dengan mudah dibubarkan tanpa memerlukan pengadilan. Pembubaran cukup dilakukan dengan cara Menkumham aktif melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau status badan hukum ormas.
Dalam bukunya, Agus meminta masyarakat untuk kritis terhadap pernyataan kedaruratan. Deklarasi darurat merupakan pengakuan bahwa negara tidak berhasil menjalankan janji demokrasi. Pada prinsipnya kita harus tahu mana yang benar-benar darurat dengan yang tidak. Sebab ketika status darurat tidak sungguh-sungguh mengintepretasikan keadaan krisis maka akan ditemui sikap publik meragukan pemerintah akibat tidak bisa membedakan keadaan krisis dan normal.
Terakhir, perlu kehati-hatian sikap bagi kita untuk kiritis pada demokrasi. Sebab sikap anti demokrasi di negeri ini kemungkinannya cuma ada dua: dipidana atau di anggap aneh..