Gaekon.com – Menjelang Hari Raya Idul Fitri, semua umat islam yang berada di perantauan akan mempersiapkan diri untuk mudik alias pulang kampung.
Pasalnya, pada momen tersebut mereka akan menemui orang tuanya di kampung untuk melakukan tradisi sungkeman.
Ya! Sungkeman selalu identik dengan Hari Raya Idul Fitri. Dimana kita sebagai anak meminta ampunan atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan selama ini pada orang tua.
Tradisi saling memaafkan ini tak hanya dilakukan pada orang tua saja, namun juga kepada sesama keluarga. Sungkeman sendiri sudah dilakukan sejak dahulu secara turun-temurun. Nah, kira-kira bagaimana ya sejarah dari sungkeman ini?
Sungkeman
Tradisi sungkeman ini biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tua atau keluarga yang dianggap lebih tua (sepuh). Caranya, orang yang lebih muda akan mencium tangan orang tua sambil bersimpuh.
Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti bagaimana asal usul adanya tradisi sungkeman. Namun menurut seorang budayawan Mada Dr. Umar Khayam (alm) dari Universitas Gadjah Mada, prosesi sungkeman adalah bagian dari akulturasi budaya Jawa dan Muslim.
Istilah sungkem diambil dari kata ‘sungkem’ yang maknanya adalah bersimpuh sambil mencium tangan dalam bahasa Jawa.
Selain itu, Sungkeman juga memiliki pengertian memohon maaf atau nyuwun ngapura. Istilah ngapura sendiri berasal dari bahasa Arab ‘ghafura’ yang artinya pengampunan.
Melatih kerendahan hati
Sungkem merupakan sarana masyarakat Jawa dalam melatih kerendahan hati. Dengan melakukan sungkem seseorang yang melakukan gesture merendah kepada orang yang lebih tua.
Sungkem juga merupakan perwujudan rasa terima kasih dan syukur seorang anak atau orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua.
Makna sungkeman sebagai ritual penyadaran diri atau introspeksi jiwa-jiwa anak muda yang seringkali lupa bagaimana memperlakukan orang yang lebih tua dengan baik.
Sehingga tradisi sungkem lebaran dapat dimaknai sebagai sarana dalam membangun dan memperbaiki hubungan baik antara orang yang lebih tua dengan orang yang lebih muda.
Sempat dicurigai Belanda
Tradisi sungkeman umumnya dilakukan secara berkumpul maupun bergerombol. Hal ini rupanya sempat dicurigai oleh para penjajah.
Saat itu, Indonesia masih dijajah, bahkan sungkeman lebaran tahun 1930 di Gedung Habipraya, Singosaren, pihak Belanda nyaris menangkap Ir. Soekarno dan dr. R. Radjiman Widyodiningrat karena perkumpulan tersebut dinilai mencurigakan.
Namun, Raja Keraton Surakarta SISKS Paku Buwono (PB) X yang ada disana langsung menjelaskan bahwa perkumpulan tersebut hanyalah acara halal bi halal untuk merayakan Idul Fitri bagi umat Muslim.
Peristiwa itulah yang membuat Paku Buwono X ingin melestarikan tradisi tersebut. Dengan demikian, sampai saat ini tradisi sungkeman masih selalu ada dan terus berjalan sebagai bentuk perayaan Hari Raya Idul Fitri.
Tata Cara Sungkeman
Tak hanya sekedar berjabat tangan dan meminta maaf, begini tata cara sungkeman:
- Orang tua akan duduk di tempat yang lebih tinggi dari kita, misalnya di kursi dan sejenisnya.
- Kedua tangan kita di apit sembari menundukkan kepala. Posisi yang benar yaitu jongkok di depan orang tua.
- Cium tangan orang tua sambil mengucapkan kalimat permohonan maaf atas kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja.
KA For GAEKON