Tak banyak yang tahu jika bangsa dengan komunitas muslim terbesar macam Indonesia pernah memiliki rekam jejak praktik prostitusi yang malah diterima masyarakat sebagai kewajaran produk budaya. Dalam balutan adat, praktik bernama Gowok itu secara sah dilakukan. Guna utamanya, biar calon mempelai pria bisa memuaskan mempelai wanitanya. Lahir dan batin.
Gowok merujuk pada nama yang tercatat dalam sejarah sebagai Goo Wok Niang, perempuan asal Tiongkok yang masuk ke Jawa atas ajakan Laksamana Cheng Ho. Dari perempuan inilah tradisi Gowok yang asalnya dari istana raja-raja Tiongkok hadir di tanah Jawa.
Dari eranya saja kita jadi tahu bahwa praktik semacam ini hadir semenjak ratusan tahun lampau. Tradisi ini juga sempat masuk dalam catatan sejarah melalui buku Sastera Melayu dan Tradisi Kosmopolitan (1987) yang menyebutkan informasi pada tahun 1936 Liem Khing Hoo menulis novel etnografis berjudul Gowok dan sambutannya sangat menghebohkan.
Lalu dimana letak unsur prostitusinya? Nah dari sini yang menarik. Gowok yang biasanya adalah perempuan tanpa status pernikahan dan hidup tanpa famili dihormati dan dipercaya tokoh desa untuk memberikan gemblengan pada perjaka. Tugas gowok adalah bersedia dititipi bujangan yang hendak menikah di rumahnya.
Mereka berdua lalu tinggal di satu atap dan satu kamar yang sama layaknya hubungan suami-istri. Bedanya praktik gowok punya masa sewa. Sesuai perjanjian antara ayah mempelai pria dan nyai gowok, praktik tersebut bisa dilakukan dalam hitungan sehari atau seminggu.
Dalam kurun waktu tersebut, nyai gowok bakal memberikan pelajaran bagaimana cara memuaskan istri saat di ranjang. Baik teori maupun praktik langsung, bujangan akan ditatar seluk beluk tentang tubuh perempuan.
Sang nyai memberitahukan titik bagian tubuh mana saja dari perempuan yang harus disentuh pada saat hubungan seks. Lebih jauh, nyai juga akan mengajari bujangan tersebut untuk membuat ramuan sendiri agar tidak gampang loyo di kasur.
Tak melulu soal seks, nyai gowok yang punya rentang usia 20-40 tahun juga memberikan tutorial bagaimana cara membahagiakan calon istri di wilayah yang tidak dilakukan sama sekali pada peradaban saat ini.
Misalnya saja tentang cara memenuhi kebutuhan dapur dan cara bagaimana mendampingi istri pada saat kondangan. Pemuda yang nyantrik kepada nyai gowok juga dimaksudkan sebagai penanda fase kedewasaan laki-laki Jawa disamping dengan adat khitan.
Gowok Dalam Karya Sastra
Jejak praktik pergowokan ditemui adanya di beberapa daerah di Jawa Tengah. Seperti daerah Temanggung dan Banyumas. Dua daerah itu muncul disebut dalam karya sastra besutan penulis kenamaan tanah air. Seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari dan novel Nyai Gowok (2014) karya Budi Sardjono.
Dalam Ronggeng Dukuh Paruk, Tohari mengangkat tokoh bernama Srintil, seorang penari kebanggaan desa atau ronggeng. Kali waktu Srintil tak hanya menari. Namun bersedia mengiyakan tawaran menjadi gowok di desa Alaswangkal
“Gowok adalah seorang perempuan yang disewa oleh seorang ayah bagi anak lelakinya yang sudah menginjak dewasa. Dan menjelang kawin. Seorang gowok akan memberi pelajaran kepada anak laki-laki itu banyak hal perikehidupan berumah-tangga. Dari keperluan dapur sampai bagaimana memperlakukan seorang istri secara baik. Misalnya bagaimana mengajak istri kondangan dan sebagainya. Selama menjadi gowok dia tinggal hanya berdua dengan anak laki-laki tersebut dengan dapur terpisah,” kata Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk (1982).
“Masa pergowokan biasanya berlangsung hanya beberapa hari, paling lama satu minggu. Satu hal yang tidak perlu diterangkan tetapi harus diketahui oleh semua orang adalah hal yang menyangkut tugas inti seorang gowok. Yaitu mempersiapkan seorang perjaka agar tidak mendapat malu pada malam pengantin baru,” tulis Tohari.
Bila Ronggeng Dukuh Paruk berlatar di daerah Banyumas, Nyai Gowok karya Budi Sardjono berlatar di daerah Temanggung. Novel bersetting tahun 1955 tersebut bercerita tentang Bagus Sasongko yang dititipkan pada Nyai Lindri, seorang gowok yang aslinya bernama Goo Hwang Lin.
Seperti lazimnya tugas gowok, Nyai Lindri mengajarkan hal-hal untuk memperlakukan tubuh istrinya. Namun yang menarik pada novel terebut Nyai Lindri juga member pemahaman nilai humanis.
“Ingat itu ya Mas. Hargailah wanita. Jangan sekali-kali memandang bahwa mereka hanya sekedar objek pemuas nafsu. Bagaimanapun Mas Bagus lahir dari rahim seorang wanita, bukan lahir dari batu gunung.” Perihal prinsip kejantanan juga disinggung oleh Nyai Lindri. “Menjadi seorang lelaki yang bisa disebut lelanangin jagad itu kalau dia bisa mengendalikan hawa nafsunya.”
Sementara itu peran gowok digambarkan sangat penting dalam buku Kisah Polah Tingkah: Potret Gaya Hidup Transformatif (2001) karya Iman Budhi Santosa. Sastrawan anak didik Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi itu menyebut bahwa gowok sangat disegani dan berperan penting dalam kehidupan sosial masyarakat lampau.
Iman membenarkan bahwa faktanya zaman dulu memang di daerah Banyumas ada profesi gowok. Jadi begitu ada dua keluarga yang sudah saling sepakat menentukan hari pernikahan, kedua keluarga harus sepakat memilih gowok bagi mempelai pria.
Selanjutnya calon pengantin pria diserahkan kepada gowok untuk mendapatkan pelajaran teori maupun praktik perihal seluk-beluk hubungan suami-istri. Diharapkan apa yang diperoleh dan dipraktikkan gowok tersebut dapat dikuasai dengan mahir supaya nantinya dapat mengajari istrinya.
Memang praktik gowok tidak terlepas dari unsur prostitusi. Namun, ada sisi nilai luhur yang positif diajarkan oleh para pendahulu. Bagaimana pernikahan adalah hal yang serius. Bukan hal yang main-main. Sehingga persiapan sebelum pernikahan juga harus dilakukan secara matang. Khususnya bagaimana menafkahi batin istri. Hal itu lah yang malah luput disentuh oleh peradaban modern.
K for GAEKON