Ma’nene Toraja Utara, Ritual Mengeluarkan Mayat Puluhan Tahun

0
Toraja
Sumber Foto: www.ketiknews.id

Gaekon.com – Setiap daerah tentu memiliki tradisi hingga ritual masing-masing sesuai dengan kepercayaannya. Apakah kalian pernah mendengar Tradisi Ma’nene? Tradisi ini sedikit terdengar menakutkan, lantaran berupa ritual mengeluarkan mayat.

Ritual Ma’nene

Ritual ini dilakukan oleh masyarakat Toraja Utara. Ma’nene dilakukan dengan cara mengeluarkan mayat yang sudah berusia puluhan hingga ratusan tahun dari liang lahat.

Tujuan dari ritual ini sendiri adalah untuk membersihkan jasad tersebut dan mengganti pakaiannya. Ritual ini juga bermakna untuk menghormati para leluhur.

Upacara ma’nene mulai berubah seiring masuknya agama Kristen dan Katolik ke Tanah Toraja pada abad ke-17. Orang-orang Toraja yang memeluk agama Kristen dan Katolik mulai meninggalkan upacara ini.

Namun, segelintir kecil lainnya masih tetap menggelarnya dengan beberapa perubahan. Misalnya, dilakukan masyarakat di Baruppu, Toraja Utara. Orang-orang Baruppu dulu tak mempersoalkan jenis kain pengganti jenazah. Kini, orang Baruppu memilih jenis kain.

Mereka meyakini bahwa semakin tinggi derajat keluarga yang melakukan ritual Ma’nene maka semakin mahal pula jenis kain yang harus mereka gunakan untuk membungkus jenazah.

Patane

Ritual Ma’nene diawali dengan datangnya para anggota keluarga ke Patane untuk mengambil jasad sanak saudara yang telah meninggal dunia. Untuk diketahui, Patane merupakan makam berbentuk rumah tempat menyimpan mayat.

Ne’tomina (gelar adat yang diberikan kepada orang yang dituakan atau tetua) akan membacakan doa dalam Bahasa Toraja kuno serta memohon izin kepada leluhur agar masyarakat mendapat rahmat dan keberkahan setiap musim tanam hingga panen. Hal ini dilakukan sebelum membuka peti dan mengangkat jenazah.

Jenazah yang dikeluarkan dari peti terlihat masih awet, lantaran sebelum dimasukkan ke dalam peti mati dan dikuburkan, keluarga telah memberikan sejumlah bahan pengawet.

Jenazah tersebut kemudian dibersihkan menggunakan kuas setelah dikeluarkan dari Patane dan pakaiannya diganti dengan kain atau pakaian baru. Selain mengganti dengan pakaian baru, para keluarga juga meletakkan benda-benda atau makanan kesukaan jenazah di kuburannya. Setelah pakaian baru terpasang, jenazah tersebut dimasukkan kembali ke Patane.

Rangkaian acara ritual Ma’nene ditutup dengan berkumpulnya anggota keluarga di rumah adat Tongkonan untuk beribadah bersama.

Dilakukan Serempak Satu Keluarga

Ritual Ma’nene ini biasanya dilakukan serempak satu keluarga, bahkan satu desa. Hal inilah yang membuat tradisi Ma’nene berlangsung cukup lama. Waktu pelaksanaan Ma’nene berdasarkan kesepakatan bersama keluarga dan Ne’tomina melalui Musyawarah Desa.

Tradisi ini digelar sekali dalam kurun waktu tiga sampai empat tahun untuk mempererat silaturahmi sehingga keluarga yang berada di perantauan bisa  menjenguk orang tua atau Nene To’dolo (nenek moyang).

Sesajian Ritual Ma’nene

Dalam menghadirkan sesajian selama ritual Ma’nene mengalami perubahan. Dulu mereka menghadirkan sesajian itu khusus untuk jenazah. Pantangan bagi orang yang masih hidup untuk memakannya. Sekarang mereka membuat sesajian untuk dimakan bersama.

Secara makna, ritual ini tak lagi bersifat religius, namun memiliki nilai keduniawian, yaitu promosi wisata Tanah Toraja. Meski begitu, kedalaman makna upacara ma’nene tetap terjaga.

Aluk to dolo’

Ritual adat ini termasuk dalam upacara adat Rambu Solo’ (kematian). Sumbernya dari kepercayaan kuno orang-orang Toraja, yaitu Aluk To Dolo. Aluk to dolo’ kemungkinan berkembang pada masa megalitikum yang berlangsung dari 2500-1500 SM. Masa ini ditandai oleh kemampuan manusia Toraja praaksara membuat bangunan dari batu-batu besar.

Bangunan tersebut kebanyakan untuk upacara pemujaan terhadap roh nenek moyang. Dalam kepercayaan Aluk to dolo’, arwah para leluhur (tomembali puang) tetap beraktivitas seperti dalam dunia orang-orang hidup. Mereka membutuhkan bekal-bekal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di alamnya, seperti menjadi dewa (deata) dan kembali ke Puang Matua (Tuhan).

Bekal tersebut sama seperti dalam dunia orang hidup seperti makanan, pakaian, dan hewan. Karena itulah, para keluarga mendiang menyematkan pakaian, mengorbankan kerbau, dan meletakkan makanan di sekitar kubur batu leluhur.

Hal ini tak hanya sebagai penghormatan kepada leluhur, tetapi juga menjaga ikatan di antara keturunan-keturunannya. Mereka percaya jika mereka baik terhadap leluhur dengan menyediakan segala kebutuhan para leluhur, hal yang sama akan kembali ke mereka yang masih hidup.

Dari kepercayaan inilah, mereka yang masih hidup berusaha menjaga jenazah leluhur dalam kondisi terbaiknya. Makanan yang enak, hewan ternak yang gemuk, dan pakaian yang bagus. Untuk makanan dan hewan ternak, biasanya dihadirkan hanya saat upacara pemakaman. Tapi khusus untuk pakaian, diadakan setiap tahun.

 

KA For GAEKON