Data Kependudukan Timpang, Pemilu 2019 Buktinya

0
Data Kependudukan Timpang, Pemilu 2019 Buktinya
Petugas memperlihatkan KTP elektonik (E-KTP) dan Kartu Identitas Anak saat rilis operasi tangkap tangan (OTT) pungutan liar pembuatan dokumen kependudukan di Mapolres Jember, Jawa Timur, Jumat (2/11/2018). Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) Jember melakukan OTT terhadap Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jember Sri Wahyuniati dan seorang pengepul uang dari calo, dengan barang bukti Rp.10.100.000 dan 236 dollar Singapura. ANTARA FOTO/Seno/hp.

Data penduduk yang tidak akurat punya buntut negatif pada proses bernegara. Pemilu serentak 2019 adalah buktinya. Data kependudukan yang dilansir Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil ( Dirjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan data KPU ternyata tidak sesuai.

Daftar Penduduk Potensial Pemilih (DP4) Kemendagri menghitung ada 196 juta pemilih. Sementara Daftar Pemilih Tetap (DPT) KPU menghitung ada 185 juta pemilih. Jadi, jumlahnya tidak sesuai. Ada selisih sebanyak 31 juta pemilih dari dua lembaga negara yang punya andil besar dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.

Data 31 juta pemilih yang tak masuk DPT KPU itu berasal dari penduduk yang sudah memiliki KTP elektronik dan penduduk yang sudah melakukan perekaman tapi belum memilikinya. Dari sana, KPU lalu meminta data by name dan by address sesuai data tersebut kepada Kemendagri.

Meski pihak Kemendagri sudah menjawab permohonan data KPU dengan dengan mengirimkan dokumen yang diminta, tetap saja pada hari H pemilu 17 April 2019 lalu masih banyak data penduduk yang tidak masuk DPT.

Banyak temuan penduduk yang sudah memiliki KTP elektronik dan KK tapi tidak ada dalam DPT di TPS terdekat dengan rumahnya. Untuk bisa mencoblos, pemilih harus membawa KTP elektronik itupun hanya diperbolehkan diatas pukul 12.00 WIB.

Jalan tengah seperti itu adalah buah dari permohonan uji materi dengan nomor perkara 20/PUU-XVII/2019 Pasal 348 ayat (9) UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu terkait dengan penggunaan KTP elektronik untuk memilih yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Jadi melalui landasan konstitusi tersebut baik penduduk yang sudah memiliki KTP Elektronik dan yang sudah merekam tapi belum memiliki E-KTP punya hak pilih. Bila landasan hukum itu tidak ada, maka sekitar 4 juta orang yang sudah merekam KTP elektronik kehilangan suara.

MK mengatur  syarat minimal untuk mencoblos adalah dengan KTP elektronik. Namun apabila belum memilikinya pemilih bisa menggunakan surat keterangan (suket) perekaman KTP elektronik

Sebagai informasi, pemerintah dalam hal ini Kemendagri wajib memberi data kependudukan setiap enam bulan sekali sebagai bahan tambahan pemutakhiran pemilih. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 Tentang Pemilu pasal 201 ayat 8.

Lalu Apa Penyebabnya?

Tak bisa dipungkiri data kependudukan dan DPT yang tidak sinkron tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang kompleks. Salah dua penyebabnya adalah tahun 2019 bukanlah tahun untuk melakukan sensus penduduk dan ada dua pengelolaan database. Bahkan hal tersebut diakui sendiri oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.

Database yang ada pertama adalah Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) milik Kemendagri. Data tersebut biasanya dipakai untuk pelayanan administrasi kependudukan di daerah. Kedua database e-KTP yang dikelola oleh vendor pelaksana. Nah, data e-KTP ini yang menimbulkan keluhan karena kurang valid.

Dua database tersebutlah yang menyebabkan kerancuan data kependudukan. Muaranya, data yang rancu tidak bisa terintegrasi ke institusi lain seperti KPU. Sehingga menyebabkan tidak tercapainya integritas data di mata publik.

Data Versi BPS

Sementara itu berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015 jumlah penduduk Indonesia Tahun 2019 diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa. Dapat diketahui secara kasar, piramida penduduk Indonesia berbentuk limas.  Artinya, Indonesia berada dalam fase ekspansif.

Dalam fase ini menunjukkan angka kelahiran atau natalitas tinggi sedang angka mortalitas atau kematian yang rendah. Sehingga penduduk usia muda lebih banyak daripada usia tua maupun anak-anak.

Para peneliti menyebut pada fase ini Indonesia sedang menikmati bonus demografi. Dimana jumlah penduduk usia produktif kerja lebih banyak dibandingkan dengan usia non produktif.

Penduduk dengan kelompok umur anak-anak 0-14 tahun sebanyak 66,17 juta jiwa atau 24,8% dari total populasi. Sedangkan penduduk usia produktif 15-64 tahun sebanyak 183,36 juta jiwa atau 68,7% dari total populasi.

Sementara itu, penduduk lansia atau usia tidak produktif sebanyak 17,37 juta jiwa atau 6,51% dari total populasi. Diperkirakan bonus demografi ini akan berakhir pada tahun 2036 atau bahkan lebih cepat lagi. Pada saat itu menandakan banyaknya penduduk yang mencapai umur lansia.

Besarnya ketimpangan antara jumlah usia produktif dengan usia non produktif membuat rasio ketergantungan atau dependency ratio menyentuh angka 45,56%. Jadi setiap 100 orang yang berusia produktif memiliki tanggungan 46 penduduk. Jumlah itu berasal dari penduduk umur 0-14 tahun ditambah penduduk usia 65 tahun ke atas. Rasio yang tinggi bermakna semakin berat beban yang ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk menafkahi penduduk non produktif.