Indonesia ditetapkan sebagai negara penyumbang sampah plastik terbanyak ketiga di dunia. Bukan prestasi yang patut dibanggakan, hal ini tentu menjadi perenungan tersendiri bagi Masyarakat Indonesia.
Penelitian tersebut berdasarkan sebuah studi  dari University of Leeds, Inggris yang menyoroti skala besar sampah yang tidak diangkut dan pembakaran sampah plastik secara terbuka dalam inventarisasi polusi plastik global.
Para peneliti menggunakan AI untuk memodelkan pengelolaan sampah di lebih dari 50 ribu kotamadya di seluruh dunia.
Model ini memungkinkan tim memprediksi berapa banyak sampah yang dihasilkan secara global dan apa yang terjadi pada limbah tersebut.
Dalam studi yang diterbitkan jurnal Nature, terhitung 52 juta ton produk plastik mencemari lingkungan pada 2020, yang jika dideretkan dalam satu garis, akan membentang mengelilingi dunia lebih dari 1.500 kali.
Studi tersebut juga mengungkap bahwa lebih dari dua pertiga polusi plastik di planet ini berasal dari sampah yang tidak diangkut.
Hampir 1,2 miliar orang, yang merupakan 15 persen dari populasi global, hidup tanpa akses ke layanan pengangkutan sampah.
Temuan tersebut mencatat bahwa pada 2020, sekitar 30 juta ton plastik dibakar di rumah-rumah, di jalan-jalan, dan di tempat pembuangan sampah, tanpa adanya kontrol lingkungan.
Pembakaran plastik menimbulkan ancaman “substansial” terhadap kesehatan manusia, termasuk cacat perkembangan saraf, reproduksi, dan kelahiran.
Para peneliti juga mengidentifikasi “titik panas baru” penghasil polusi plastik, yang mengungkap India sebagai penyumbang terbesar, diikuti Nigeria dan Indonesia.
Menurut perkiraan data global pada 2020 dalam studi tersebut, negara-negara penghasil sampah plastik terbanyak adalah India dengan 9,3 juta ton, Nigeria dengan 3,5 juta ton, dan Indonesia dengan 3,4 juta ton.
China, yang sebelumnya dilaporkan sebagai negara penghasil polusi plastik terbanyak, kini berada di peringkat keempat, dengan 2,8 juta ton.
Kontras antara emisi limbah plastik dari belahan Bumi Utara dan Selatan sangat mencolok, menurut penelitian tersebut. Meski konsumsi plastik tinggi, polusi makroplastik merupakan masalah yang relatif kecil di belahan Bumi Utara karena sistem pengelolaan limbah berfungsi secara komprehensif.
Meski banyak negara di Afrika Sub-Sahara pada umumnya memiliki tingkat polusi plastik yang rendah, negara-negara tersebut jadi “titik panas” penghasil polusi sampah jika dilihat berdasarkan per kapita dengan rata-rata polusi plastik sebesar 12 kg per orang per tahun. Jumlah itu setara dengan lebih dari 400 botol plastik.
Sebagai perbandingan, Inggris saat ini memiliki tingkat polusi plastik per kapita kurang dari tiga botol plastik per orang per tahun. Para peneliti khawatir, hal ini mengindikasikan bahwa Afrika Sub-Sahara dapat jadi sumber polusi plastik terbesar di dunia dalam beberapa dekade mendatang, karena banyak negara memiliki pengelolaan limbah yang buruk dan populasinya diperkirakan akan tumbuh dengan cepat.
Para peneliti percaya, penelitian ini menunjukkan bahwa akses terhadap pengumpulan sampah harus dilihat sebagai kebutuhan dasar dan aspek vital sanitasi, di samping layanan air dan pembuangan limbah. Pembakaran plastik jadi masalah yang sama besarnya dengan sampah yang dibuang ke lingkungan.
“Kita perlu mulai lebih fokus pada penanganan pembakaran terbuka dan sampah yang tidak dikumpulkan sebelum lebih banyak nyawa terdampak polusi plastik. Hal itu tidak boleh ‘dilupakan, diabaikan.'” Kata akademisi Sistem Efisiensi Sumber Daya dari School of Civil Engineering, yang memimpin penelitian tersebut, Dr Costas Velis.
KA For GAEKON