Gaekon.com – Tradisi melebarkan lubang telinga sepertinya sudah terdengar biasa. Namun bagaimana dengan tradisi melebarkan mulut? Apakah kalian pernah mendengarnya? Iya, tradisi ini disebut dengan piring bibir atau pelat bibir.
Melansir dari nationalgeographic.grid.id, Tradisi ini digunakan oleh suku Mursi, Sara dan Suma di Ethiopia. Mereka memiliki cara khusus untuk menunjukkan kecantikan seorang wanita. Masyarakat setempat percaya jika semakin lebar bibir seorang wanita maka akan terlihat semakin cantik.
Ada sejumlah wanita yang memasang lempengan kayu dibibirnya berdiameter 12 senti meter, bahkan ada yang lebih. Pelat yang dipasang dibibir disebut dhebi a tugoin. Tradisi itu menjadi ciri khas dan daya tarik wisatawan.
Sejarah Pelat Bibir
Menurut kepercayaan, tradisi ini bermula karena pria dari beberapa suku di Ethiopia ingin wanita mereka terlihat tidak menarik bagi pria asing selama masa perbudakan.
Pelat bibir juga disebut sebagai cakram atau sumbat bibir. Mereka biasanya terbuat dari kayu atau tanah liat dan berukuran sekitar 4-5 sentimeter.
Agar pelat bibir pas, dua hingga empat gigi dicabut dari mulut. Piring keramik awalnya ditempatkan setelah bibir dipotong dan ketika sembuh, piringan yang sedikit lebih besar dipasang di bibir.
Setiap gadis yang mencapai pubertas atau berusia sekitar 15 – 16 tahun akan dipotong bibirnya oleh salah satu anggota perempuan sukunya dan sebuah kayu kecil dipasang di bibirnya. Pelat bibir dapat dilepas ketika ada kebutuhan untuk membersihkan atau menggantinya.
Lempeng Bibir Bukti Kesuburan Wanita
Piring bibir umumnya dianggap sebagai “ritus peralihan” dari masa remaja ke masa dewasa. Menurut tradisi, lempeng bibir adalah bukti kesuburan setiap wanita dan bukti bahwa dia siap untuk menikah.
Hal ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa seorang gadis telah mencapai usia menikah dan siap menjadi seorang istri.
Selain dari pernikahan, kecantikan seorang wanita juga ditentukan oleh seberapa besar bibirnya. Keyakinannya adalah bahwa itu adalah ornamen budaya yang melambangkan kekuatan dan harga dirinya.
Banyak harga diri yang menempel di bibir karena dipandang sebagai suatu kebanggaan. Untuk membuatnya lebih cantik, beberapa wanita mengecat pelat bibir mereka.
Tak hanya itu, penggunaan pelat bibir juga menjadi sumber pembeda. Ini membedakan mereka dari suku-suku lain yang ada.
Digunakan dalam Acara Penting
Sebagai simbol kesuburan dan kelayakan untuk menikah, pelat bibir digunakan pada acara-acara penting seperti pernikahan dan kompetisi menari.
Wanita yang sudah menikah juga diharapkan untuk memasukkan piring mereka saat melayani suami.
Wanita Harus Menanggung Rasa Sakit
Tradisi ini terlihat sekilas aneh dan tidak nyaman, namun mereka harus tetap melakukannya. Pada tahap awal, banyak wanita harus menanggung begitu banyak rasa sakit selama latihan menusuk dan memotong, tepat sebelum pelat bibir diperbaiki.
Ada juga risiko infeksi dimana kondisi sanitasi yang ideal tidak terpenuhi selama proses pemasangan pelat bibir.
Makan, minum dan tidur juga tidak mudah bagi para wanita ini karena mereka terus-menerus harus mengeluarkan piring bibir mereka.
Wanita Suku Mursi biasa menyelipkan piring dengan diameter 10-25 cm di bawah bibir. Setelah 2-3 minggu piring tadi diganti dengan yang ukurannya lebih besar lagi. Untuk mengobati luka biasanya Suku Mursi menggunakan salep herbal.
Risiko Tidak Patuh Pelat Bibir
Tradisi lempeng bibir terus ada sampai saat ini. Untuk orang luar, penggunaan pelat bibir terlihat seperti mutilasi kulit, tetapi pengguna tradisional melihatnya secara berbeda. Mereka melihatnya sebagai bentuk ekspresi dan seni.
Saat ini, anak perempuan dapat memutuskan apakah mereka ingin memakai pelat bibir atau tidak. Setiap wanita yang menolak untuk memakai pelat bibir dianggap malas dan tidak pantas mendapatkan mahar besar.
Dia akan dianggap sebagai wanita muda yang tidak patuh karena telah menolak untuk menghormati tradisi.
Dalam beberapa kasus, penolakan untuk menggunakan pelat bibir dapat menyebabkan pembayaran mahar yang rendah.
KA For GAEKON