Siapa yang tidak mengenal salah satu jajanan tradisional ini? Semua pasti pernah mencoba walaupun hanya secuil. Kue yang mudah dicari dan selalu tersedia di pasar tradisional adalah kue apem. Kue yang terbuat dari tepung beras, gula, ragi instan dan tape singkong ini memiliki rasa yang manis, berbentuk bulat warna putih, sekilas, bentuknya menyerupai serabi.
Apem menjadi kue tradisional yang masih terus dipertahankan sampai saat ini. Dalam berbagai acara, kue apem juga masih menjadi sajian setia, seperti saat syukuran. Rasanya memang tidak selembut kue masa kini seperti brownis, sponge cake, cheesecake dan yang lainnya, namun kue apem menyimpan sejuta cerita dan filosofi yang tidak dimiliki kue lainnya.
Kue apem memang lebih dikenal sebagai kue syukuran atau kue khas Jawa, namun dilansir dari Wikipedia, kue apem berasal dari negara India. Di India sendiri, kue ini disebut “Appam”, hampir sama penyebutannya seperti di Indonesia.
Sementara itu, istilah kue apem juga disebutkan sebagai serapan dari bahasa Arab yakni afwan atau afuwwun yang berarti maaf. Masyarakat Jawa menyederhanakan kata afwan tersebut menjadi kata apem yang sekarang kita ketahui.
Persebaran kue apem di masyarakat Jawa sendiri diketahui pada masa Sunan Kalijaga yakni salah satu dari wali sembilan yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Pada masa itu, Ki Ageng Gribik yakni keturunan Prabu Brawijaya dan salah satu murid Sunan Kalijaga melihat keadaan penduduk desa Jatinom, Klaten yang sedang kelaparan.
Ki Ageng Gribik yang saat itu baru pulang menunaikan ibadah haji akhirnya membuat kue apem. Kemudian kue tersebut dibagikan kepada penduduk desa sambil mengajak mereka mengucapkan lafal Qowiyyu yang artinya Allah Maha Kuat. Dengan memakan kue apem dan melafalkan kata tersebut para penduduk merasa kenyang.
Dalam pandangan atau filosofis Jawa, kue apem dilambangkan sebagai simbol permohonan ampun atau maaf atas berbagai kesalahan yang telah diperbuat, baik kesalahan kepada Sang Pencipta maupun kesalahan kepada sesama agar silaturahmi tetap terjaga. Hal tersebut merujuk pada asal mula kata apem di atas yakni Afwan yang artinya maaf. Selain itu, rasa kue apem adalah manis, hal tersebut mengibaratkan manisnya kata-kata permintaan maaf yang dapat membuathubungan antar umat manusia menjadi harmonis.
Dari tahun ke tahun, membagi – bagikan kue apem ini sudah menjadi kebiasaan. Umumnya dilakukan pada acara – acara syukuran maupun selamatan menjelang bulan Ramadhan. Tradisi seperi ini masih terus dilestarikan dibeberapa daerah yang ada di Indonesia.
Kue tradisioanl yang terbuat dari tepung beras dan juga santan ini sebenarnya bisa dengan mudah dijumpai di Indonesia dan juga Asia Tenggara. Akan tetapi sebenarnya kue apem ini seperti yang sudah dijelaskan diatas, berasal dari daerah Karala dan Tamil Nadu di India Selatan. Bahkan menurut beberapa bukti sejarah, apem ini sudah dikenal sejak abad pertama Masehi di daerah Tamil.
Hal ini diperkuat dengan catatan mengenai kue apem atau appam dalam bahasa Tamil yang ditemukan dalam sebuah literatur Tamil Sangam. Apalagi apem di India ini juga terbuat dari tepung beras dan santan. Namun ada beberapa variasi seperti menggunakan susu sapi sebagai pengganti dari santan.
Bahkan menariknya lagi, bentuk dan juga rasa dari apem di negara asalnya yakni India sama dengan yang ada di Indonesia dan juga negara-negara Asia Tenggara lainnya. Umumnya di India sana kue apem ini disantap dengan kari ayam atau bisa juga dengan ikan. Selain itu kue apem juga bisa disantap dengan menggunakan saus bumbu pedas yang lebih mirip seperti sambal.
Di daerah Klaten, Jawa Tengah, juga terdapat sebuah tradisi memperebutkan apem yang dikenal dengan istilah “Megengan”. Megengan berasal dari bahasa Jawa ‘megeng’ yang berarti menahan diri, atau bisa diartikan sebagai puasa itu sendiri. Perayaan megengan selalu dirayakan dengan meriah. Kue apem disusun dalam dua gunungan yaitu gunungan lanang dan gunungan wadon dan kemudian diarak keliling kota. Biasanya apem dalam acara ini disusun menggunung hingga beratnya mencapai ton-tonnan agar bisa memenuhi kebutuhan penduduk di sana. Setelah arak-arakan selesai, masyarakat akan saling berebut kue apem sebagai simbol pengharapan berkah.
Di daerah Madura, masyarakat di sana, khususnya Sumenep juga memiliki tradisi apeman. Cara pembuatannya pun sama. Maknanya juga hampir sama, yakni menunjukkan adanya tali silaturahmi karena nantinya juga dibagikan kepada tetangga atau santri (bila di lingkungan pesantren). Waktu pelaksanaan pembuatannya pun juga sama yaitu saat menjelang bulan puasa.
Sedangkan di daerah Cirebon, kue apem juga dimaknai sebagai kue kebersamaan. Masyarakat Cirebon biasa membuat kue apem pada bulan Sapar (bulan kedua dalam kalender Hijriyah). Kue-kue apem tersebut kemudian dibagikan kepada para tetangga. Tradisi ini menunjukkan bahwa masyarakat saling membantu dengan sarana kue apem tersebut. Selain itu, kue putih agak kecokelatan dan cukup kenyal ini juga dipercaya penduduk sekitar sebagai penolak bala.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, apem berasal dari kata afwan atau yang berarti permintaan maaf. Filosofi apem mengartikan bahwa kita sebagai manusia hendaknya selalu rendah hati untuk meminta maaf dan memaafkan baik kepada sang pencipta maupun kepada sesama. Agar selalu terjalin silaturahminya, dan selalu hidup damai bahagia.
KL For GAEKON