Gaekon – Rabu 17 Juni 2020 lalu saya kebetulan tengah mengurus perpanjangan SIM C yang habis berlaku. Sesuai prosedur perpanjangan SIM mulai tahun ini diharuskan melakukan tes psikologi. Betapa terkejutnya saya saat mengerjakan tes psikologi. Sebab menurut saya tes tersebut tak representatif mengukur kondisi psikis pemohon SIM. Mosok yo, ndas ngelu dan mencret ditanyakan dalam tes psikologi. Bukane itu ranah kesehatan fisik?
Sesuai pengalaman, kemarin saya disodori 30 pernyataan. Tiap pernyataan harus direspon dengan pilihan “ya” atau “tidak”. Beberapa pertanyaan malah menurut saya sangat absurd.
Saya sering merasa mual ; Saya jarang sakit kepala ; Saya mengalami mencret sekali atau lebih dalam 1 bulan ; Saya jarang mengalami sakit perut ; Saya jarang merasa sembelit. Itu tadi daftar poin tes psikologi yang saya tulis ulang. Ya mungkin saya awam di bidang psikologi, jadi saya geleng-geleng kepala. Kok ada alat ukur macam begini untuk menentukan orang itu layak mendapat SIM apa tidak.
Padahal, bayangan saya dari rumah, pernyataan tes psikologi yang muncul berformat penyataan sikap. Misalnya, bila seseorang bikin jengkel anda dengan membunyikan klakson terus menerus apa yang anda perbuat? ; Bila ada yang menyalip anda secara tak sopan apa yang akan anda lakukan? ; dan lain-lain semacamnya. Tapi prediksi saya meleset. Yang muncul malah daftar poin pernyataan seperti yang telah disebut di atas.
Saya kepikiran. jika pak polisi ingin mengukur mual, sakit kepala,sembelit dan mencret tidak akan tuntas bila hanya dijawab dengan jawaban ya atau tidak. Bisa jadi misalnya saya orangnya mencretan, tapi saya ngaku-ngaku sehat dengan memilih opsi jawaban tidak. Kan bisa banget diakali seperti itu.
Tapi saya rasa nggak banyak orang seperti itu. Orang Indonesia itu jujur-jujur kok. Mana ada yang mau repot-repot ngisi tes psikologi. Paling nggak ya mereka langsung ngurus SIM lewat jalur belakang. Lewat calo.
Saat menunggu SIM jadi, seorang bapak yang duduk disebelah saya yang mengaku terang-terangan seorang calo pembuatan SIM berkata, “isien ngawur Lo ga pengaruh mas, tetep lulus sampean”.
Secara gamblang dia bilang kalau tes psikologi itu cuma prosedur formalitas. “Negoro iku mek butuh duike tes psikologie ae mas,” katanya. Pernyataan itu agaknya benar berlaku demikian. Petugas tak tampak memeriksa satu persatu hasil tes pemohon.
Saya amati hingga tiba giliran saya dipanggil masuk ke mobil SIM keliling buat ambil foto diri dan sidik jari. Petugas tak sekalipun memeriksa hasil tes psikologi pemohon.
Bukankah hal itu sangat rawan. Manusia itu kan dinamis to. Kalau masa habis SIM itu tiap 5 tahun. Ada peluang selama 5 tahun belakangan ini kondisi psikologi saya terganggu hingga rawan membahayakan orang lain bila saya dibiarkan lulus perpanjangan SIM dan berkendara di jalan.
Lalu apa kabar goal utama dimasukkannya tes psikologi menjadi syarat pembuatan SIM, yang katanya demi meminimalisir angka kecelakaan di jalan?
Untuk diketahui, tes psikologi menjadi syarat pembuatan SIM sesuai Pasal 81 ayat 4 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Aturan itu juga termaktub dalam pasal 36 Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2012 tentang SIM.
Lha, kalau semua orang bisa lulus tes psikologi tanpa prosedur pemeriksaan jawaban, ala iya angka kecelakaan itu juga bakal berkurang? Saya benci pikiran jahat saya yang mengatakan bahwa kebijakan ini ujung-ujungnya, proyek.
Dan beruntung Tuhan menyelamatkan saya dari pikiran sesat itu. Sesampainya di rumah saya tersadar, ternyata ada korelasi antara mencret dengan kondisi psikologis pengendara seperti disebut dalam tes psikologi SIM.
Saya jadi ingat selorohan orang-orang kampung bila ada orang nyetir ugal-ugalan di jalan. “Wooo nyetir ngawur! kebelet ngising Yo!” Mungkin tes psikologi macam demikian ada benarnya juga.
K For GAEKON