Indonesia Corruption Watch (ICW) menolak Keinginan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 Johanis Tanak yang hendak menghapus Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Pernyataan Johanis Tanak yang disampaikan dalam agenda uji kepatutan dan kelayakan atau fit and proper test di DPR kemarin, Selasa (19/11) itu dinilai untuk mengambil hati anggota dewan yang menentukan komposisi calon pimpinan KPK selanjutnya.
“Dalam pandangan ICW, pernyataan itu dilontarkan oleh Tanak tidak lebih dari sekadar hanya untuk mengambil hati anggota DPR yang mengujinya, padahal yang disampaikannya jelas tidak berdasar dan menyesatkan,” ujar Peneliti ICW Diky Anandya, dikutip dari CNN, Kamis (21/11/24).
Diky menegaskan OTT menjadi senjata ampuh KPK dalam membongkar kasus korupsi. Kata dia, OTT yang didahului dengan perencanaan-perencanaan diatur dalam hukum acara pidana.
“Perlu dipahami bahwa proses penyadapan sendiri sebagai sebuah proses perencanaan ketika hendak melakukan OTT secara eksplisit telah diamanatkan dalam Pasal 12 ayat (1) UU KPK yang menyebutkan ‘Dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan’,” tutur Diky.
“Artinya, penyadapan sudah barang tentu boleh dilakukan sebagai sebuah perencanaan untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana,” sambungnya.
Ia menjelaskan OTT yang selalu dilakukan oleh KPK adalah bentuk manifestasi dari hasil penyadapan sebagai bukti petunjuk untuk mengungkap tindak pidana dan menangkap pelaku. Dengan kata lain, lanjut dia, terminologi OTT yang digunakan oleh KPK sama dengan keadaan tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP.
Diky mengingatkan Johanis Tanak keberhasilan KPK banyak berawal dari kegiatan OTT. Banyak pejabat seperti menteri, Ketua DPR hingga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) diproses hukum dari operasi senyap tersebut.
“Jika disampaikan bahwa dirinya hendak menghapus OTT sebagai sebuah strategi dalam pemberantasan korupsi, maka pernyataan tersebut adalah bentuk untuk melemahkan kinerja KPK,” tegas Diky.
“Atas alasan tersebut, ICW mendesak kepada anggota DPR untuk tidak memilih calon pimpinan KPK berdasarkan selera subjektif hanya kerena calon yang diuji hendak menghapus OTT, sebab hal tersebut bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi,” lanjut dia.
Sementara itu, Ketua Indonesia Memanggil IM57+ Institute Lakso Anindito menganggap keinginan Johanis Tanak menghapus OTT menjadi pembuktian bagi DPR dan presiden untuk tidak mengulangi kesalahan dalam pemilihan calon pimpinan KPK sebelumnya.
KA For GAEKON