
Gaekon.com – Sebagai masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa pasti akan menyeberangi selat Bali jika ingin berkunjung ke Bali. Mungkin akan berbeda cerita jika ada jembatan yang menghubungkan pulau Jawa dan Bali, pasti kita tidak perlu menyeberang laut lagi. Namun sebenarnya kenapa Jawa Bali tidak dibangun jembatan?
Pulau Bali menjadi salah satu pulau yang banyak dikunjungi wisatawan. Pasalnya, pulau ini terkenal sebagai pulau dengan keunikan seni budayanya.
Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Hampir setiap sudut wilayah terdapat pura peribadatan, baik pura besar yang dipakai sebagai tempat upacara bersama maupun pura kecil di setiap rumah. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai Pulau Dewata, Bali juga disebut dengan Pulau Seribu Pura.
Ritual keagamaan yang kental memengaruhi hampir setiap unsur dan gerak kehidupan masyarakat Bali. Hal ini menjadikan Bali tidak hanya memiliki pemandangan yang indah tetapi juga kebudayaan yang unik, eksotis, dan terjaga. Bali adalah tujuan wisata internasional yang seringkali lebih dikenal daripada Indonesia.
Pulau Bali juga sering menjadi sasaran wisata terutama bagi masyarakat Pulau Jawa. Banyak dari mereka yang menghabiskan waktu liburan hingga honeymoon di Bali. Mungkin jika antara Pulau Bali dan Jawa dibangun sebuah jembatan, kita tidak akan repot-repot lagi menyeberang menggunakan kapal. Namun, kenapa pada kenyataannya Jawa Bali tidak dibangun jembatan?
Padahal, jika dipikir-pikir lagi, semua wisatawan yang berasal dari pulau Jawa, aksesnya akan sangat mudah. Mereka hanya perlu transportasi jalur darat saja. Selain itu juga tidak berisiko lantaran harus berperang melawan ombak.
Jembatan Selat Bali sangat penting untuk ekonomi Jawa-Bali dan konektifitas keduanya. Mengingat bahayanya menaiki kapal dan ombak yang tinggi di selat Bali. Dengan begitu orang akan lebih cepat jika ingin bepergian dari Jawa ke Bali, ataupun sebaliknya dari Bali ke Jawa.
Jembatan ini merupakan gagasan almarhum Prof.Sedyatmo, seorang guru besar di ITB pada tahun 1960 disebut dengan ‘Tri Nusa Bima Sakti’, yang berarti penghubung antara 3 pulau, yaitu Pulau Sumatra, Jawa, dan Bali.
Usulan Pemkab Banyuwangi Ditolak
Usulan pembangunan Jembatan Selat Bali juga pernah dilontarkan oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pada 2012. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengatakan bahwa jembatan tersebut perlu segera dibangun.
Keinginan Pemkab Banyuwangi tersebut bertepuk sebelah tangan. Dikarenakan Pemkab Jembrana, Bali menolak secara terang-terangan.
Mitologi Kang Hyang Sydyamatra
Persatuan Hindu-Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Jembrana juga menolak pembangunan jembatan Selat Bali.
Menurut sejarah Bali, mitologi Kang Hyang Sydyamatra sengaja memutus Pulau Bali dengan Pulau Jawa.
Dari mitologi Hindu yang sudah masuk ke sejarah Bali itu, menurutnya secara niskala, dan skala. Bali dan Jawa memang sejak awal dibuat sedemikian rupa. Harus dibatasi laut, yang merupakan salah satu filter dari hal-hal negative atau pengaruh hal-hal buruk dari luar Bali menjadi lebih muda diawasi.
Posisi Manusia Tidak Boleh Lebih Tinggi Dari Patmasannah
PHDI Banyuwangi juga meminta Pemerintah Banyuwangi mempertimbangkan aspek keagamaan dan budaya, bila ingin membangun jembatan Selat Bali yang menghubungkan Bali ke Pulau Jawa.
Menurutnya, jembatan selat Bali pasti akan lebih tinggi dari perairan dan daratan di sekitarnya. Mengingat ombak selat Bali yang terkadang besar.
Padahal menurut kepercayaan agama Hindu, bangunan jembatan dan posisi manusia tidak boleh lebih tinggi dari patmasannah, Yakni tempat bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu. Jembatan yang lebih tinggi dari Pura itu secara otomatis dianggap melanggar adat.
Sejarah Selat Bali
Dikisahkan, pada jaman dulu Jawa dan Bali berada pada satu daratan dan bernama Pulo Dawa. Disebuah tempat yang kini berada disekitar Jawa Timur hiduplah seorang pendeta yang dikenal sangat mahir dalam merapal mantra. Kehebatannya merapal mantra ini kemudian menjadikannya dikenal dengan sebutan Ida Danghyang Sidhimantra.
Salah satu bukti kehebatannya merapal mantra adalah dengan dimilikinya seorang putra yang kemudian dikenal dengan nama Ida Bang Manik Angkeran. Konon Ida Bang Manik Angkeran ini terlahir dari api homa, sehingga putranya tersebut diberi nama Ida Bang Manik Angkeran.
Meski terlahir, tumbuh dan besar dalam keluarga brahmana, Ida Bang Manik Angkeran justru gemah memotoh atau berjudi dan jarang menang. Meski demikian, setiap saat meminta uang, Danghyang Sidhimantra selalu memberikan kepada putranya. Lama kelamaan, Ida Bang Manik Angkeran penasaran dengan sumber uang yang dimiliki orang tuanya.
Hingga akhirnya rasa penasaran Ida Bang Manik Angkeran terjawab. Secara tidak sengaja ia mendengar pembicaraan kedua orang tuanya terkait dengan sumber kekayaannya.
Di suatu hari, berbekal sebuah senjata pedang dan sebuah genta milik ayahandanya yang ia curi, Manik Angkeran melakukan perjalanan jauh menemui sahabat ayahnya yang bertempat di Goa Raja, lereng selatan Giri Tolangkir (Gunung Agung). Sahabat ayahandanya tersebut tiada lain Ida Sanghyang Naga Basuki.
Tibalah Ida Bang Manik Angkeran di depan Goa Raja. Ia kemudian mengalunkan bajra milik ayahandanya. Mendengar alunan suara bajra yang sangat dikenalnya, Ida Hyang Naga Basuki pun segera keluar dari peraduannya dan mengira yang mengalunkan bajra tersebut sahabatnya yakni Ida Hyang Naga Basuki.
Begitu tiba dimulut goa, Ida Hyang Naga Basuki kaget karena yang mengalunkan bajra tersebut ternyata seorang remaja, bukan Ida Danghyang Sidhimantra. Ida Bang Manik Angkeran pun segera menceritakan jati dirinya dan kemudian menghaturkan empehan atau susu.
Senang mendapatkan persembahan empehan dari putra sahabatnya, Ida Hyang Naga Basuki kemudian memberikan hadiah kepada Ida Bang Manik Angkeran. Yakni berupa kepingan-kepingan uang emas yang bersumber dari sisiknya. Setelahnya Ida Hyang Naga Basuki kembali ke peraduannya.
Saking panjang tubuhnya, konon saat prabu (kepala) Ida Hyang Naga Basuki sudah tiba di peraduan, ekornya masih ada di mulut goa. Saat itu Ida Bang Manik Angkeran terpana melihat betapa indahnya mahkota yang menghiasi ekor Ida Hyang Naga Basuki yang berhiaskan emas, intan, berlian dan batu-batu mulia lainnya.
Saat itu, muncullah niat buruk Ida Bang Manik Angkeran. Dengan senjata pedangnya, ekor Ida Hyang Naga Basuki kemudian dipenggalnya dan setelahnya ia lari terburu-buru dengan maksud segera meninggalkan Goa Raja.
Sementara, menyadari ekornya telah terpotong, Ida Hyang Naga Basuki menjadi murka dan segera kembali kemulut goa. Ternyata Ida Bang Manik Angkeran tidak dijumpainya lagi. Akhirnya, bekas pijakan kaki Ida Bang Manik Angkeran dijilatinya yang menyebabkan putra semata wayang Danghyang Sidhimantra berpulang dengan tubuh terbakar hangus. Lokasi hangusnya tersebut kini dikenal dengan nama Alas Cemara Geseng yang berlokasi dikawasan Besakih.
Ditempat terpisah, Ida Danghyang Sidhimantra gelisah karena putra semata wayangnya lama tidak pulang. Beliau kemudian memutuskan untuk menyusul hingga tibalah beliau di Goa Raja dengan sambutan yang kurang ramah dari tuan rumah, Ida Hyang Naga Basuki yang kemudian menceritakan ulah Ida Bang Manik Angkeran terhadap dirinya.
Ida Danghyang Sidhimantra kemudian paham dengan peristiwa yang telah terjadi. Beliau kemudian melakukan lobi dengan Ida Hyang Naga Basuki agar putranya bisa dihidupkan kembali. Permintaan itupun disanggupinya dengan catatan Ida Danghyang Sidhimantra juga harus bisa menyatukan kembali ekornya yang telah terpotong dengan tubuhnya.
Akhirnya berkat kesidhian Ida Danghyang Sidhimantra dalam merapal mantra, ekor dan badan Ida Hyang Naga Basuki kembali menyatu seperti sedia kala. Sebaliknya Ida Hyang Naga Basuki juga mampu menghidupkan kembali Ida Bang Manik Angkeran. Adapun tempat dihidupkannya kembali Ida Bang Manik Angkeran kini dikenal dengan nama Pura Bangun Sakti yang lokasinya ada dikawasan Pura Agung Besakih.
Namun, meski putranya telah hidup kembali, Ida Danghyang Sidhimantra tidak mau mengajak putranya pulang dan menitipkannya kepada sahabatnya, Ida Hyang Naga Basuki untuk mulat sarira. Tidak lama kemudian, Ida Bang Manik Angkeran ngayah menjadi seorang pemangku di Pura Besakih.
Saat kembali pulang, disebuah tempat di Bali barat, Ida Danghyang Sidhimantra khawatir apabila putranya sewaktu-waktu melarikan diri dari Besakih dan kembali kepada dirinya. Beliau kemudian mencari cara agar putranya tidak bisa kembali ke Jawa yang saat itu sudah diliputi kali sangara.
Akhirnya, ia kemudian menorehkan tatekennya (tongkatnya) di tanah. Dari torehan tatekennya itu muncullah air yang semakin lama semakin membesar hingga memotong Pulo Dawa menjadi dua bagian yang kini bernama Pulau Jawa dan Bali. Pada titik awal ditorehkannya tateken dikenal dengan nama Pura Segara Rupek.
Pada saat itu Ida Danghyang Sidhimantra juga mebhisama bahwa Pulau Jawa dan Bali tidak boleh disambungkan. Apabila disambung maka akan terjadi malapetaka buat Bali. “Awya angatepaken Jawa muang Bali, yan atep Jawa Muang Bali, rusak ikanang Bali pulina stananing hyang (Jangan sekali-sekali menyatukan Bali dengan Jawa. Kalau disatukan Bali akan rusak),” demikianlah kurang lebih bhisama Ida Danghyang Sidhimantra terkait dengan selat Bali.
KA For GAEKON