Presidential Treshold Mau Diutak-atik Lagi, Loss Gak Rewel Wes!

0
Presidential Treshold Mau Diutak-atik Lagi, Loss Gak Rewel Wes!

Gaekon.com – Ngakunya sistem presidensial tapi sangat mengakomodir sistem parlementer. Kalau mau menyanggah saya karena tidak setuju pernyataan tadi, ya wes ayok tak ajak berkaca pada aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Topik presidential threshold itu beberapa hari terakhir mengemuka lagi. Katanya angka ambang batas yang sebelumnya 20 persen mau diturunkan. Merespon itu saya sebagai rakyat kecil ini cuma mau bilang, wes pak, eson (aku) loss gak rewel. Karep-karepmu kono mbok utak-atik model opo.

Sebelumnya, perdebatan soal besarnya angka presidential threshold kembali mengemuka menjelang pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

UU Pemilu itu memang mengatur pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan kursi minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Angka-angka tersebut dinilai terlalu besar. Sejumlah pihak, baik parpol maupun aktivis, pernah mengajukan uji materi terkait Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Namun MK menolak permohonan tersebut.

Akademisi Rocky Gerung menyatakan akan kembali menggugat presidential treshold (PT) pada UU 7/2017 tentang Pemilu, bersama pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya gugatan serupa pernah dilayangkan. Tapi ditolak mentah-mentah oleh MK pada tahun 2018.

Sejumlah pakar tata negara dan ilmu politik menilai presidential threshold dengan angka besar sangat tidak cocok diterapkan. Dalam position paper berjudul Pemilu Nasional Serentak 2019 yang disusun di antaranya oleh Syamsuddin Haris, Ramlan Surbakti, Ikrar Nusa Bakti, dan Saldi Isra disebutkan ambang batas tersebut merupakan anomali dalam sistem presidensial.

Para ilmuwan tersebut menyatakan konsekuensi logis dari pemilu legislatif yang mendahului pemilu presiden adalah terciptanya ketergantungan partai-partai politik terhadap hasil pemilu DPR dalam mempersiapkan pencalonan presiden dan wakilnya. “Ketergantungan itu bahkan kemudian dilembagakan melalui prasyarat mekanisme ambang batas pencalonan presiden,” tulisnya.

Sebagaimana diamanatkan, parpol dan atau gabungan parpol harus memperoleh total perolehan suara atau kursi tertentu secara nasional di DPR sebagai syarat mengajukan pasangan capres dan cawapres. Menurut paper tersebut, disadari atau tidak, persyaratan mekanisme ambang batas pencalonan presiden ini tak hanya menjadi ‘penjara’ bagi kalangan parpol sendiri, melainkan juga merefleksikan praktik presidensial yang bernuansa parlementer.

“Padahal, sesuai skema sistem presidensial, lembaga presiden dan DPR merupakan dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi politik yang berbeda, serta tidak saling tergantung satu sama lain, sehingga tidak seharusnya pencalonan presiden ‘didikte’ atau ditentukan oleh formasi politik parlemen nasional hasil pemilu legislatif,” tulisnya.

Jare mengusung kekuasan ada di tangan presiden alias orang, subjek, person, leader. Lha kok di balik itu presiden dipilih, ditentukan oleh oligarki parpol, sekelompok orang dan bukan ditentukan langsung oleh pilihan rakyat.

Yakin anda sedang berdemokrasi? Atau siapa sih yang sebenarnya menikmati enaknya berdemokrasi? Rakyat?

Rakyat aslinya kan ingin makan rawon, tapi yang ada disuguhkan hanya pecel dan sego kucing. Tapi Rakyat selalu dikadalin dengan jargon “pemilu pesta Demokrasi”.

Endi demokrasie? Atau endi pestae? Rakyat tidak sedang memilih kok. tapi dipilihkan! Rakyat ate melok pesta tapi gak tau komanan. Jatahe diwakilkan untuk para penyanderanya.

Oke, jadi saya merasa mau angka threshold diturunkan dari 20 persen jadi 10 persen atau berapa persen pun. Wes gak patek’en rakyat iki. Monggo lek-leken kono! Toh ya sejatinya demokrasi tidak benar-benar dirasakan manisnya oleh rakyat.

K For GAEKON