Gaekon.com – Ngono yo ngono, nanging ojo ngono. Nasihat bijak dari Jawa itu kembali terngiang di kepala saat saya menyaksikan video prank sembako berisi batu yang dilakukan oleh youtuber Ferdian Paleka kepada waria korbannya.
Dengan gagah, Ferdian bersama rekannya dalam video-nya mengatakan waria pantas dirazia dan pantas dihukum sebab masih keluyuran. Padahal saat ini adalah bulan puasa terlebih masa PSBB Covid-19. Mereka mengatakan ingin membantu pemerintah dengan cara membersihkan sampah masyarakat.
Semua perkara ada batasnya. Tidak lantas bila waria itu salah kita berhak merendahkan martabatnya sehina-hinanya. Saya juga tidak sedang menuding Ferdian adalah sehina-hinya orang karena mengais rejeki dengan cara tidak patut.
Stigma awam, menyebut wanita setengah pria (waria) sebagai sampah masyarakat karena telah menyalahi kodrat. Sebagian pemeluk beragama menganggap mereka kafir karena berani melanggar takdir Tuhan. Secara fisik dan seksual mereka pria namun mereka mengekspresikan identitas gendernya sebagai seorang perempuan.
Waria, wandu, banci, bencong, transpuan, dan sederet istilah lainnya memang tidak ada dalam kitab suci keyakinan saya. Tidak pernah disebut ada kata waria, melainkan hanya pria atau wanita.
Sebagian tafsir menyebut hal itu berarti Tuhan tidak ingin manusia untuk melangkahi kodrat-Nya. Bila dinasibkan jadi laki-laki atau perempuan ya terimalah. Tidak ada modifikasi atas dua pilihan itu.
Tafsir semacam itu baik dan tidak perlu dihujat. Namun saya kok lebih sreg dengan pandangan seperti ini. Kalau memang tidak ada dalam kitab suci, hal itu berarti waria adalah urusan Tuhan langsung. Apa saja yang dilakukan para waria adalah tanggung jawab spesifik, langsung dan khusus Tuhan. Sehingga manusia pria, manusia perempuan tak perlu cerewet mengurusi mereka dan merasa paling benar di hadapan Tuhan.
Saya tidak sedang menuding Ferdian berbuat salah sementara saya lah yang benar. Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan pengakuan dosa yang merupakan otokritik pada diri saya sendiri. Saya juga pernah melakukan hal kejam pada seorang yang dikatain waria.
Dulu saat SMP saya sekelas dengan seorang teman transpuan. Tiap hari siswa laki-laki mengolok-oloknya. Dia dirisak secara verbal dan fisik. Hingga suatu hari ada tugas Mapel Bahasa Indonesia untuk maju membacakan puisi.
Teman saya lantas membaca puisi yang dia tulis sendiri. Berkaitan nasib hidupnya yang selalu dihinakan, dirisak, direndahkan. Apa yang dia sampaikan menancap betul di hati di pikiran saya. Dia membaca puisi dengan mimik wajah, ekspresinya hingga derai air matanya yang begitu magis.
Apa yang dia bawakan rupanya meluluhkan perasaan saya. Dalam hati pun saya berujar, ya saya salah. Meski begitu, dia tetaplah manusia.
K For GAEKON