Tim Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wilayah V mendadak berkunjung ke Labuan Bajo.
KPK menemukan adanya wajib pajak di kawasan wisata Labuan Bajo, yang belum menuntaskan kewajibannya kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Manggarai Barat.
“Labuan Bajo sebagai kawasan wisata premium menjadi pemasukan utama daerah, sehingga jika pelaku usaha di sini masih ada yang ‘nakal’ terkait pajak, Pemda (Manggarai Barat) wajib bertindak lebih tegas,” ungkap Kepala Satgas Korsup KPK Wilayah V, Dian Patria dikutip dari Liputan6.com pada Jumat (16/8/24).
Karenanya, KPK melakukan pendampingan terhadap Pemda Manggarai Barat untuk optimalisasi pajak, sehingga tak lagi terjadi kebocoran pendapatan daerah.
“Kami mendorong realisasinya sebagai upaya kemandirian fiskal Pemda Manggarai Barat,” ungkapnya.
Merujuk data Kementerian Keuangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Manggarai Barat tahun 2023 menyentuh angka Rp 1,576 triliun, yang mana 14,29 persen berasal dari Pajak Daerah dan 4,94 persen lainnya hasil retribusi daerah.
Sementara dalam 3 tahun terakhir (2021-2023), bersumber dari data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), realisasi pajak daerah Manggarai Barat naik hingga 50 persen.
Tim Satgas Korsup KPK masih menemukan kebocoran pendapatan daerah dari kapal wisata dan hotel di Labuan Bajo yang tidak patuh bayar pajak.
Data rekonsiliasi Juni tahun 2024 Bapenda dan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Manggarai Barat menunjukkan, setidaknya pada 10 dari 300 kapal wisata di Labuan Bajo terdapat selisih laporan antara trip dan jumlah tamu.
Sebagai sampel, Tim Satgas Korsup KPK dan Pemda Manggarai Barat melakukan tinjauan lapangan terhadap dua kapal wisata. Pada kapal pertama ditemukan selisih 2 trip dengan catatan 18 tamu tidak dilaporkan. Diketahui, pada kapal pertama biaya paket wisata mencapai Rp 3,75 juta per tamu, sehingga jika ditotal ada kebocoran pelaporan mencapai Rp 67,5 juta untuk sekali trip.
“Sebagai catatan, biaya tersebut belum dipisahkan antara komponen kena pajak dan tidak kena pajak,” katanya.
Sementara di kapal kedua ditemukan selisih 6 trip dan 106 tamu, yang tidak dilaporkan. Khusus kapal kedua tidak diketahui persis berapa biaya yang dikenakan.
Namun, selisih tersebut memperlihatkan masih ada pelaku usaha yang nekat tidak melaporkan data realisasi kepada Bapenda.
KA For GAEKON