Rawa Pening adalah sebuah danau alami yang memiliki luas 2.670 hektar. Danau ini terletak di Kabupaten Semarang yang meliputi Kecamatan Bawen, Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Tuntang, dan Kecamatan Banyubiru. Danau yang terletak di cekungan antara Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran ini menjadi objek wisata dan tempat memancing ikan.
Legenda Rawa Pening
Legenda Rawa Pening berkisah tentang sepasang suami istri bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang tinggal di Desa Ngasem. Desa ini terletak di lembah antara Gunung Merbabu dan Gunung Telomoyo. Pasangan ini dikenal suka menolong sehingga dihormati oleh masyarakat sekitar.
Suatu hari, Nyai Selakanta berkata pada suaminya bahwa ia ingin dikaruniai seorang anak. Sang suami kemudian pergi bertapa ke lereng Gunung Telomoyo hingga berbulan-bulan. Secara Ajaib, Nyai Selakanta kemudian mengandung.
Betapa terkejutnya Nyai Selakanta ketika ia justru melahirkan seekor naga. Naga itu pun diberi nama Baru Klinthing. Nama itu berasal dari nama tombak milik Ki Hajar. Kata ‘baru’ berasal dari kata ‘bra’ yang memiliki arti keturunan Brahmana. Sedangkan ‘Klinthing’ memiliki arti lonceng.
Walaupun memiliki wujud seekor naga, Baru Klinthing dapat berbicara layaknya manusia. Nyai Selakanta yang malu memiliki anak berwujud naga kemudian merawatnya dengan diam-diam. Ia bahkan memiliki rencana untuk membawa anaknya ke Bukit Tugur agar jauh dari warga.
Saat dewasa, Baru Klinthing mulai menanyakan siapa ayahnya. Nyai Selakanta kemudian mengutus Baru Klinthing pergi menemui ayahnya yang bertapa di lereng Gunung Telomoyo sambil membawa tombak milik sang ayah.
Ki Hajar yang tidak percaya bahwa anaknya seekor naga kemudian menyuruh Baru Klinthing untuk melingkari Gunung Telomoyo. Berkat kesaktiannya, Baru Klinting pun berhasil melaksanakannya. Ki Hajar kemudian menyuruh Baru Klnthing untuk bertapa di Bukit Tugur agar tubuhnya berubah menjadi manusia.
Di sisi lain, terdapat sebuah desa bernama Desa Pathok yang penduduknya terkenal angkuh. Suatu ketika saat penduduk desa tersebut sedang mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen, mereka menangkap Baru Klinthing dan memotong-motong dagingnya untuk hidangan pesta.
Saat sedang berpesta, datang seorang anak laki-laki penuh luka dan berbau amis. Anak tersebut adalah penjelmaan dari Baru Klinthing. Anak tersebut meminta makan, namun justru ditolak dan dimaki oleh penduduk desa.
Baru Klinthing yang meninggalkan desa kemudian bertemu dengan Nyi Latung yang mengajaknya ke rumahnya dan memberinya makanan. Baru Klinthing yang ingin membalas dendam pada penduduk desa akhirnya berpesan kepada Nyi Latung untuk menyiapkan lesung ketika ada suara gemuruh.
Baru Klinthing pun kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Dalam keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah. Ketika ia meminta orang-orang mencabut lidi itu, tak ada satu pun yang bisa melakukannya. Dengan kesaktiannya, Baru Klinthing pun berhasil mencabut lidi tersebut.
Begitu lidi dicabut, terdengar suara gemuruh. Air pun menyembur dari bekas tancapan lidi tersebut. Semburan air tersebut tidak berhenti hingga menyebabkan banjir besar. Semua penduduk Desa Pathok tenggelam. Dalam sekejap, desa tersebut berubah menjadi rawa atau danau yang saat ini dikenal dengan sebutan Rawa Pening.
Baru Klinthing kemudian menemui Nyi Latung yang telah menunggunya di atas lesung. Lesung itu pun berfungsi sebagai perahu. Baru Klinthing kemudian dipercaya kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.
FT for GAEKON