Kentalnya budaya dan tradisi Indonesia terutama di Pulau Jawa masih terus dipercaya dan dijalankan sampai saat ini. Tradisi tersebut bermacam-macam, mulai dari tradisi di keluarga seperti saat mengadakan pernikahan hingga tradisi kelahiran anak.
Selain itu tradisi di desa-desa tertentu juga ada, misalnya bersih desa hingga meminta hujan pada daerah yang tandus. Salah satunya tradisi dari masyarakat Pariopo, Situbondo, Jawa Timur, yaitu tradisi meminta hujan, Pojhian Hodo.
Tidak seperti yang dilihat, nampak subur dan hijau. Daerah yang ditempati oleh keturunan Madura dan Jawa ini berbukit-bukit dan cukup tandus. Keadaan tanah yang tandus ini memerlukan hujan, namun jika tidak, maka kemarau panjang akan terjadi sepanjang tahun.
Mayoritas masyarakat yang tinggal disana adalah petani dan peternak. Upacara adat Pojhian Hodo ini adalah ritual sakral pemanggil hujan yang dilakukan oleh leluhur. Ritual ini digelar pada bulan Oktober-November.
Ritual ini biasanya dilaksanakan sebagai solusi dari kemarau panjang yang sering menyulitkan masyarakat desa. Dan kepercayaan ini sudah turun temurun, masyarakat percaya dengan ritual ini hujan akan turun dengan cepat.
Upacara adat Pojhian Hodo ini diyakini berkaitan dengan kisah perjalanan Raden Damarwulan, seorang tokoh dari Kerajaan Majapahit. Konon, Raden Damarwulan diutus untuk memerangi Kadipaten Blambangan. Setelah berhasil memenangkan peperangan, Raden bersama prajuritnya lantas kembali ke Majapahit.
Saat sudah tiba di tempat, keadaan sekitar sangat kering dan tandus sehingga mereka merasa haus dan lapar. Raden Damarwulan bersama prajuritnya kemudian membuat batu tomang, semacam tungku, sebagai tempat untuk memasak. Namun, karena kesulitan mendapatkan air, Raden Damarwulan bersemadi di sebuah gua sebelah utara batu tomang.
Saat sedang semedi, Raden Damarwulan mendapat petunjuk untuk memotong kambing berwarna hitam di kaki Gunung Masali. Selain itu ia juga membuat sajian di sekitar batu tomang sebagai sarana memohon hujan kepada Yang Mahakuasa.
Tidak lama kemudian, hujan itu turun menyelamatkan warga dari bencana kekeringan, setelah Raden Damarwulan melaksanakan petunjuk tersebut. Sampai saat ini upacara tersebut masih bertahan di kalangan masyarakat.
Situbondo menjadi daerah yang sangat bergantung dengan adanya hujan. Hal ini membuat masyarakat Pariopo sampai saat ini masih mempertahankan tradisi leluhur yang dipercaya dapat menurunkan hujan.
Hal pertama yang dilakukan untuk memulai ritual ini adalah pesucen atau penyucian diri. Dalam pesucen ini, seluruh pelaksana upacara diharuskan bersuci di mata air yang disebut dengan se capcap.
Pesucen dilakukan pada sore hari dan dipimpin oleh pemangku ritual. Melalui pesucen, peserta ritual diharapkan dapat melakukan ritual dengan hati dan pikiran yang bersih, sehingga doa dan harapannya dapat terkabul. Dalam ritual ini yang dilakukan adalah memandikan setiap pelaku ritual menggunakan air se capcap.
Seluruh peserta ritual kemudian mendatangi sebuah goa untuk bersemedi di malam harinya. Goa yang dikenal dengan Goa Macan ini diyakini pernah ditinggali oleh Raden Damarwulan untuk mencari petunjuk saat melakukan ritual meminta hujan. Semalam suntuk para pelaku ritual memanjatkan doa di goa tersebut.
Seperti kisah Raden Damarwulan, para pelaku ritual yang sudah mendapat petunjuk dari Tuhan, akan menyembelih kambing berwarna hitam untuk dikurbankan, dan dijadikan sesajen saat pelaksanaan ritual Hodo. Setelah itu Peserta ritual kemudian melakukan perjalanan menuju batu Tomang, sebuah tempat yang terdapat batu besar berbentuk menyerupai tungku untuk memasak.
Sesampainya di batu Tomang pelaku ritual duduk bersila melingkari sesaji berupa tumpeng agung, daging hewan kurban, dan sesajen lainnya yang diletakkan di tengah-tengah tempat ritual. Salah satu pemangku ritual mengelilingi tempat ritual dengan menebarkan asap dupa ke setiap sudutnya.
Sembari mengelilingi tempat ritual, para pelaku ritual lainnya mengiringi dengan lantunan tembang pamoji. Para penari mengikuti lantunan mantra tersebut, dengan harapan agar nantinya ritual Pojhian Hodo berjalan lancar.
Para pelaku ritual lainnya berdoa dengan gerakan refleksi tangan dari atas ke bawah secara perlahan berulang-ulang sebagai simbol dari permohonan kepada Tuhan untuk meminta hujan. Setelah semua berdoa, kemudian dilanjut makan bersama ditandai dengan turunnya hujan.
Salah seorang pengurus komunitas adat Pariopo, Absu,mengatakan bahwa upacara Pojhian Hodo adalah rangkaian tarian dan bunyi-bunyian. Tidak hanya diyakini dapat memanggil hujan saja, namun upacara tersebut juga bisa menolak bala.
KL For GAEKON