Suku Baduy Dalam, Desa Tanpa Listrik Sepanjang Masa

0
Baduy Dalam
Sumber Foto: digitalbisa.id

Gaekon.com – Listrik rasanya sudah menjadi kebutuhan pokok manusia jaman sekarang. Mereka seakan merasa semuanya terhambat jika listrik padam. Bahkan, banyak yang mati gaya hanya karena jaringan internet ikut mati saat listrik padam. Namun, tahukah kalian bahwa Suku Baduy Dalam merasakan hal itu sehari-hari?

Baduy atau Kanekes adalah salah satu desa di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Di dalamnya terdapat suku Baduy atau urang Kanekes yang merupakan sekelompok masyarakat yang memegang teguh kearifan lokal.

Populasinya kurang lebih 26.000 jiwa dan terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam. Perbatasan antara kedua wilayah tersebut ditandai dengan sebuah gubuk terbuat dari bambu sebagai tempat menginap suku Baduy Dalam ketika mereka berladang.

Kehidupan Suku Baduy Dalam

Hidup tanpa listrik dan internet seolah menjadi pilihan Suku Baduy Dalam. Suku Baduy merupakan kelompok masyarakat yang bermukim di kaki Gunung Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten.

Lokasi tersebut berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Rangkasbitung. Wilayah tersebut memiliki topografi berbukit dengan kemiringan tanah rata-rata 45 derajat dan terletak pada ketinggian 300-600 mdpl.

Suhu udara berkisar 20 derajat celcius. Di Baduy terdapat 56 kampung dan terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Baduy Dalam yang terdiri dari 3 kampung yaitu Cibeo, Cikertawarna dan Cikeusik serta Baduy Luar yang terdiri dari 53 kampung.

Di Baduy Dalam inilah, masyarakatnya hidup tanpa listrik, tanpa teknologi, tanpa internet dan bebas dari penggunaan produk berbahan kimia. Masyarakat Baduy memiliki kehidupan yang sangat unik. Hingga saat ini masyarakat Baduy tetap berpegang teguh pada pendirian adat mereka, jauh dari kata mewah.

Desa Tanpa Listrik Sepanjang Masa

Di Kampung Cibeo, Cikertawarna dan Cikeusik sampai saat ini tidak tersentuh aliran listrik. Mereka menolak untuk dimoderinisasi, mereka lebih memilih untuk mempertahankan nilai-nilai leluhur yang sudah diwariskan dan tetap mengikuti aturan adat leluhur mereka.

Disana juga tidak ada penampakan gadget sama sekali. Masyarakat Baduy Dalam juga hidup seragam, mulai dari warna pakaian (hitam untuk laki-laki dan putih untuk perempuan) hingga tempat tinggalnya.

Ada beberapa hal yang menjadi pantangan atau tabu bagi mereka. Salah satunya adalah mengambil foto, terutama di wilayah Baduy Dalam. Pengunjung hanya boleh menggambarkan suasana di dalamnya hanya dengan sketsa.

Keunikan lain dari Suku Baduy Dalam adalah di tempat mereka tidak terdapat apotek, namun di wilayahnya kaya akan tanaman-tanaman obat.

Bangunan rumah Suku Baduy Dalam juga berdiri kokoh tanpa semen. Fungsi semen dan batu bata digantikan oleh kayu-kayu yang digunakan untuk menopang rumah Suku Baduy Dalam. Sementara dinding rumah berupa anyaman bambu dan atap ditutup dengan ijuk.

Keunikan Suku Baduy Dalam

Desa Cibeo lebih terbuka terhadap pendatang. Namun, pengunjung tetap tidak boleh mengambil foto serta dilarang memakai sabun, sampo, odol, dan bahan kimia lainnya saat mandi karena dikhawatirkan akan merusak alam.

Sedangkan Desa Cikeusik sangat indah dan asri, tetapi jarang dikunjungi. Sifat gotong royong masih dipertahankan oleh suku Baduy Dalam. Terutama saat harus pindah ke daerah yang lebih subur karena mereka merupakan suku nomaden dan penganut sistem ladang terbuka.

Bentuk rumah adat di sini hampir serupa tanpa memandang status sosial. Yang membedakan hanyalah perabot yang terbuat dari kuningan. Semakin banyak perabot kuningan yang dimiliki, semakin tinggi pula status keluarga.

Kendaraan bermesin, seperti motor dan mobil, tidak diperbolehkan di Baduy Dalam. Namun, itu tidak menghalangi mereka pergi berkunjung ke kota besar. Mereka menempuh perjalanan dengan berjalan kaki tanpa mengeluh.

Mereka juga tidak menggunakan gelas dan piring sebagai alas makan dan minum. Dengan kekayaan alamnya, mereka menggunakan bambu panjang sebagai pengganti gelas, yang menghasilkan aroma khas ketika dituangi air panas.

Masakan menu ayam merupakan makanan mewah, meskipun banyak ayam kampung berkeliaran. Olahan ayam hanya tersedia saat acara pernikahan dan kelahiran.

Di Baduy Dalam ini ada kepala suku yang kerap disebut Pu’un. Ia adalah yang menentukan masa tanam dan panen, menerapkan hukum adat, dan mengobati orang sakit. Pu’un sangat dihormati, hanya orang yang berkepentingan khusus dan mendesak yang dapat bertemu dengannya.

Selain itu, di Baduy Dalam juga mengenal tradisi Kawalu. Kawalu adalah puasa yang dirayakan tiga kali selama tiga bulan. Saat Kawalu berlangsung, wisatawan hanya boleh berkunjung sampai Baduy Luar saja dan tidak boleh menginap.

Wisatawan Baduy Dalam

Berdasarkan catatan Jejak Baduy, awal mula wisatawan masuk ke Baduy Dalam adalah pada medio 1990. Namun saat itu wisatawan yang berkunjung masih terbatas, salah satunya hanya berasal dari kalangan mahasiswa pecinta alam.

Pada 1995, wisatawan yang berkunjung ke Baduy mulai ramai. Tren tersebut terus berkembang hingga awal tahun 2000-an dan akhirnya mulai muncul tour and travel yang melayani open trip ke Baduy Dalam.

Hingga saat ini antusiasme wisatawan setiap minggu yang masuk ke Baduy Dalam sangat ramai. Kurang lebih bisa sampai 200 orang, lantaran mereka penasaran dengan kehidupan masyarakat Baduy Dalam.

KA For GAEKON