Jakarta- dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ, atau akrab disapa Noriyu, menyelesaikan tesisnya dengan menulis buku yang bertajuk Jelajah Jiwa Hapus Stigma. Selain sebagai syarat kelulusannya menjadi dokter spesialis kesehatan jiwa, buku tersebut dapat bermanfaat untuk mencegah kasus bunuh diri.
Nova menulis buku tersebut, karena rasa keprihatinannya terhadap masih adanya kasus bunuh diri di masyarakat. Dengan adanya buku ini diharapkan keluarga sebagai lingkaran terdekat dapat mendeteksi, apabila ada anggota keluarga lainnya yang sedang mengalami kesulitan.
Buku yang berjudul “Jelajah Jiwa Hapus Stigma : Autopsi Psikologis Bunuh Diri Dua Pelukis” memang mengambil kasus bunuh diri yang menimpa dua seniman pelukis berasal dari Yogyakarta.
Sebagai anggota DPR RI periode 2009 – 2014 dan 2018 – 2019, Nova pernah menginisiasi RUU kesehatan jiwa. Selain itu, ia juga menjadi ketua panitia kerja RUU kesehatan jiwa komisi IX DPR RI, sehingga akhirnya dihasilkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa.
Dari situlah, isi tulisan dalam buku tersebut mengajak masyarakat lain agar ikut berperan untuk mendorong kesehatan jiwa anggota keluarga mengacu kasus-kasus bunuh diri.
Buku ini merupakan tesis yang ia jalani pada tahun 2008 lalu sebagai syarat kelulusannya. Ide menulis tentang bunuh diri ini bermula ketika salah seorang dosennya menyebutkan bahwa seniman memiliki kecenderungan gangguan jiwa dan bunuh diri yang lebih tinggi.
“Saat itu saya berpikir, wow menarik juga, dan akhirnya saya pikir oke, ini harus saya teliti, tetapi tidak mudah mencari siapa yang akan diteliti,” kata Nova pada acara peluncuran bukunya.
Ia berharap tulisannya dapat mengedukasi banyak orang yang masih belum mengetahui soal bunuh diri, dan bisa berperan untuk mencegah bunuh diri.
Judul ‘Jelajah Jiwa’ ia pilih karena baginya memahami seorang manusia bisa sangat dalam dan sangat luas, tidak cukup apabila hanya dijelaskan dalam sebuah buku.
Dan ‘Hapus Stigma’ dengan harapan tidak ada lagi orang yang memberikan stigma pada orang-orang yang memiliki ide untuk bunuh diri.
“Justru kita harus bersama-sama dalam upaya mencegah bunuh diri,” tegasnya.
Nova merasa sangat tertantang untuk meneliti penyebab bunuh diri di kalangan seniman. Apalagi kasus ini juga menimpa seniman dunia seperti Kurt Cobain, Ernest Hemingway, Virginia Woolf dan Sylvia Plath.
Ia mengungkap penyebab dua seniman lukis yang berasal dari Yogyakarta itu sampai bunuh diri. Tulisan dalam buku tersebut mengungkap bahwa kedua pelukis tidak memiliki riwayat anggota keluarga yang melakukan bunuh diri.
Setelah melakukan berbagai wawancara menunjukkan bahwa pelaku kemungkinan mengalami masalah kejiwaan.
Kedua seniman juga diduga mempunyai beragam pemicu stres, yang terkait dengan karya seni (lukisan), hubungan pribadi dengan kekasih dan masih banyak lagi hal – hal yang membuat kedua seniman memutuskan untuk bunuh diri.
Tanda-tanda peringatan (warning sign) sebenarnya sudah terlihat menjelang bunuh diri. Terlihat dari karya lukis yang depresif. Dalam membuktikannya, Nova menggunakan teknik triangulasi dengan melakukan analisis lukisan bersama kurator lukis, budayawan, dan psikiater Eugen Koh dari The Dax Centre – University of Melbourne sebagai pakar seni dan penyembuhan (art and healing).
Hasilnya menunjukkan kedua seniman memperlihatkan sikap kuat menghadapi berbagai persoalan maupun penyakit yang menyertainya. Selain itu ada juga perasaan bersalah dan berdosa.
Buku tersebut membahas mengenai misteri dari tindakan bunuh diri itu sendiri, kecenderungan bunuh diri di kalangan kreatif, dan peran dalam upaya melakukan pencegahan bunuh diri.
Nova menunjukkan bahwa walaupun dua seniman pelukis ini telah tidak ada, tetapi melalui buku Jelajah Jiwa Hapus Stigma, ia merasa ikut belajar tentang perjalanan hidup seseorang. Bahwa setiap orang mempunyai cerita dan masalah hidupnya masing – masing. Sehingga sangat penting berperan dalam kebaikan bagi sesama manusia.
“Sudah saatnya kita semua menyadari dan menghapus stigma sehingga bunuh diri bisa kita cegah,” ucap lulusan S3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini.
Fakta menunjukan, masalah kesehatan jiwa di masyarakat cenderung mengalami peningkatan. Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia, Ali Ghufron Mukti menyatakan, saat ini angka masalah kesehatan jiwa di dunia mencapai 450 juta orang.
Dari jumlah tersebut sebanyak 1 juta memiliki kecenderungan untuk bunuh diri setiap tahunnya.
“4-6 terjadi disabilitas neuropsychiatric terkait dengan depresi penggunaan alkohol, schizophrenia, bipolar dan lain-lain,” kata Ali.
Berdasarkan dari data Riskesdas, ia menyebutkan prevalensi gangguan mental emosional mencapai 6 persen untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta jiwa.
Angka ini cukup besar sekali angka dengan macam gangguan seperti gejala-gejala depresi, kecemasan.
“Sementara prevalensi gangguan jiwa berat schizophrenia mencapai 1,7 per 1000 penduduk atau 400 ribu orang. Dimana 14,3 persen diantaranya pernah atau sedang dipasung,” terangnya.
Menurutnya, kesehatan jiwa sama halnya dengan kesehatan fisik, ia menjadi sangat vital untuk mewujudkan kesejahteraan.
Bunuh diri masih menjadi hal tabu untuk dibicarakan di Indonesia. Bahkan hingga kini, Indonesia sendiri masih belum memiliki sistem pendataan bunuh diri secara nasional.
Data WHO menyatakan bahwa tingkat bunuh diri di Indonesia adalah 3,4 per 100.000 orang, dengan rincian laki-laki 5,2 per 100.000 orang dan perempuan 2,2 per 100.000 orang. Berdasarkan survei yang pernah dilakukan oleh Personal Growth pada Tahun 2018. Dari jumlah 101 orang dengan rentang usia 14-37 tahun, terungkap bahwa 84 persen responden pernah terpikir untuk melakukan bunuh diri, 71 persen mengenal orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, dan 10 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri.
KL For GAEKON