Gaekon.com – Pernyataan Kepala BKPM Indonesia (Badan Penanaman Modal Nasional), Bahlil Lahadalia, didukung oleh beberapa elit politik (Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa dan Zulkifli Hasan, Partai Amanat Nasional) yang mengangkat wacana penundaan pemilihan presiden atas nama pemulihan ekonomi adalah ide yang sangat kekanak-kanakan secara politik dan ekonomi. Pemulihan ekonomi memang bukan alasan yang masuk akal untuk menunda pemilihan presiden. Pelembagaan demokrasi sebenarnya merupakan prasyarat bagi kepastian politik bagi pertumbuhan ekonomi di negara demokrasi. Dan sebenarnya proses pendewasaan demokrasi harus sejalan dengan pembangunan ekonomi.
Dengan kata lain, proses pemulihan ekonomi tidak tergantung pada siapa yang berkuasa, tetapi pada aturan main demokrasi yang telah terlembagakan dengan baik. Pembangunan ekonomi harus bergantung pada demokrasi sebagai “satu-satunya permainan di kota”, bukan pada sosok Jokowi yang berkuasa atau siapa pun. Artinya, lebih mementingkan sosok ketimbang lembaga demokrasi akan menjadi pilihan politik yang sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia itu sendiri.
Jika proses pelembagaan demokrasi terganggu dengan menunda pemilihan presiden atau dengan mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode, maka yang akan muncul adalah ketidakpastian ekonomi politik di mana demokrasi yang dinikmati Indonesia saat ini bisa berubah menjadi otoriter. sistem. Karena begitu proses pelembagaan demokrasi terganggu, peluang untuk mengganggunya lagi akan semakin terbuka di masa depan.
Saya berharap masyarakat Indonesia yang sudah melek demokrasi memahami hal ini dengan baik dan membuat daftar hitam para elit dan partainya yang mengusulkan penundaan pemilihan presiden atau perubahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Jika hari ini mereka berani berbicara secara terbuka untuk mengganggu proses demokrasi, maka ketika mereka terpilih nanti, mereka bahkan akan memiliki kesempatan untuk menghancurkan tatanan demokrasi nasional yang telah berjalan dengan baik hingga saat ini dengan alasan pemulihan atau pembangunan ekonomi. .
Tentu saja Indonesia harus banyak belajar dari negara-negara yang secara konsisten menerapkan demokrasi dan bertahan hingga saat ini dengan tetap mempertahankan kinerja ekonominya. Di AS, misalnya, sejak presiden George Washington (1789) hingga Franklin D Rosevelt terpilih untuk keempat kalinya (1933-1945), penjelasan masa jabatan presiden tidak tertulis dalam konstitusi Amerika. Pergantian masa kepemimpinan dan demokrasi elektoral masih berjalan baik karena institusi juga diperlakukan dengan baik
Misalnya, George Washington secara sadar berhenti mencalonkan diri sebagai presiden untuk ketiga kalinya karena dia tidak ingin meninggalkan preseden yang tidak etis dalam politik Amerika di satu sisi dan tidak ingin melembagakan praktik yang membahayakan demokrasi di sisi lain. Praktek ini dianut oleh semua presiden AS, sampai FDR melampauinya. Kemudian ketika norma-norma demokrasi konvensional mulai ditekuk, akhirnya ketentuan tersebut diratifikasi dalam konstitusi AS dan bertahan hingga saat ini.
Bahkan dalam debat yang paling partisan, termasuk di masa krisis (1929, 1970-an, 1980-an, 2000 dan 2008), tidak ada pembicaraan untuk mengubah masa jabatan presiden atau menunda pemilihan presiden. Yang ada justru semakin memperjelas batasan dan kendali atas kekuasaan presiden. Pada tahun 1945, setelah FDR terpilih untuk keempat kalinya, kongres AS akhirnya memperjuangkan pembatasan masa jabatan presiden ke dalam konstitusi, yang ditetapkan secara tertulis menjadi dua masa.
Kongres AS berjuang untuk menjaga denyut demokrasi dari hiruk pikuk kekuasaan eksekutif. Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir, kekuatan ini semakin diperjelas dengan keterwakilannya dengan diberlakukannya pemilihan paruh waktu. Dua tahun setelah presiden menjabat, diadakan pemilihan anggota DPR untuk menguji tingkat “persetujuan” publik terhadap partai yang berkuasa, apakah naik atau turun. Hasilnya dapat digunakan sebagai evaluasi kinerja bagi otoritas terpilih.
Di sini, di Indonesia, beberapa elite politik, tokoh, dan politisi serta pejabat negara justru menggoda kekuasaan eksekutif untuk membengkokkan logika demokrasi ke jalur hukum. Mendekati 20 tahun amandemen konstitusi terkait masa jabatan presiden, dan baru empat kali pemungutan suara langsung oleh rakyat, beberapa elite sudah mulai angkat bicara. Opsi penundaan pemilihan presiden dan perpanjangan masa jabatan presiden diumumkan kepada publik, diklaim sebagai aspirasi yang masuk ke kantong celana mereka sebagai politisi.
Wacana semacam ini harus ditanggapi dengan serius dan hati-hati, baik oleh masyarakat Indonesia, apalagi oleh mayoritas anggota parlemen. DPR justru bertindak atas nama demokrasi, berjuang dengan segala daya dan upaya agar peluang penyalahgunaan kekuasaan tidak terjadi di badan eksekutif, malah membuka peluang. Sangat jelas secara konstitusional bahwa memperpanjang masa jabatan presiden atau menunda pemilihan presiden membuat presiden yang sedang berkuasa saat ini berada di luar mandat pemilih dan di luar Standar Operasional Prosedur Demokrasi. Oleh karena itu harus ditolak.
Sejarah telah membuktikan, pada awalnya, para elit politik yang frustrasi dengan dinamika demokrasi dan hubungan ekonomi, perlahan membuka pintu bagi para elit yang berpeluang menjadi diktator atau calon penjilat diktator, tergiur dengan ketegasan dan tangan besinya. Soekarno didapuk sebagai presiden seumur hidup, sehingga pada tahun 1959 muncul dekrit presiden sebagai awal penumpasan kekuasaan parlemen lama yang dipilih oleh rakyat (Demokrasi Terpimpin).
Di Italia, Raja Vittoro Emanuel III mengundang Musolini ke panggung kekuasaan, setelah insiden kaos hitam yang terkenal dan buahnya adalah fasisme keji El Duce. Keputusan itu bahkan didukung oleh para elite seperti Giovani Giolitti dan Antonio Salandra. Pola yang sama juga dilakukan oleh Paul von Hindenburg II yang menilai bahwa solusi dari stagnasi ekonomi dan kebuntuan demokrasi Jerman adalah Hitler. Hasilnya adalah perang dunia kedua dan Hollocoust.
Begitu juga dengan keputusan seorang pendiri demokrasi Venezuela, Rafael Caldera, yang menganggap Hugo Chaves sebagai solusi bagi Venezuela. Buahnya pun tak jauh berbeda, hancurnya tatanan demokrasi di tanah air. Awalnya mereka mengira bisa mengalahkan para pemimpin populis plus para demagog yang diharapkan senang bekerja di bawah panji demokrasi.
Namun sejarah membuktikan sebaliknya, peluang untuk melonggarkan pembatasan kekuasaan adalah sumber awal kehancuran demokrasi, seperti yang terjadi pada Musolini, Hitler, Chaves, Fujimori, Sadam, dan banyak lainnya, yang sebenarnya bermula dari sikap frustrasi terhadap demokrasi. Yang perlu mereka sadari adalah bahwa publik Indonesia akan berpikir bahwa elit yang sumbang saat ini adalah elit yang terlalu banyak menikmati kekuasaan dan keuntungan ekonomi di seluruh pemerintahan demokratis (Jokowi) yang ada. Ini tentang demokrasi, bukan tentang ekonomi.
S For GAEKON