Ketika Pemimpin Tanpa Beban. Memimpin Atau Bermimpi?

0
Ketika Pemimpin Tanpa Beban. Memimpin Atau Bermimpi?

Ada satu statement yang berkesan diucapkan Presiden RI, Joko Widodo, pada acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2019 untuk penyusunan Rancangan Kerja Pemerintah (RKP) 2020 sekaligus Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2045 di Hotel Shangri-la, Jakarta Pusat, Kamis (9/5)

Statement tersebut berkaitan dengan kenyataan bahwa Jokowi sudah tidak akan bisa maju lagi pada pemilihan presiden tahun 2024.

“Lima tahun ke depan, mohon maaf, saya sudah tidak ada beban lagi. Saya tidak bisa nyalon lagi (pada 2024)”


Jokowi juga menegaskan akan mempergunakan kesempatan dalam periode jabatannya yang kedua nanti, untuk membangun Indonesia secara maksimal.

Dan, seperti yang kita ketahui bersama, Jokowi terpilih kembali untuk memimpin Indonesia untuk periode 2019-2024 bersama KH. Ma’aruf Amin.

Melewati proses yang panjang dan melelahkan. Mulai dari masa kampanye, hingga pasca pencoblosan dan penghitungan suara. Hoax, kampanye hitam, unjuk rasa anarkis dan banyak hal lain yang akan dicatat oleh sejarah negeri ini sebagai noda dalam proses berdemokrasi.

Dengan terpilihnya Jokowi kembali, statement untuk bekerja tanpa beban, sedikit banyak memberi harapan kepada para pendukungnya, bahwa Jokowi akan bekerja secara maksimal dan unstoppable, bebas dari tekanan partai maupun yang lainnya.

Benarkah demikian? Sounds too good to be true, isn’t it?

Mari kita coba telaah beberapa fakta yang telah terjadi di lapangan sejauh ini. Dari beberapa kejadian, akan tampak bahwa kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pernyataan dan tindakan beliau terpisah sejauh Timur dan Barat.

“Proses Pembentukan Kabinet Indonesia Maju”

Ini merupakan bukti nyata bahwa di awal masa pemerintahannya, Jokowi telah “tersandera” oleh politik balas jasa dan kepentingan politik.

Prabowo, rival Jokowi di dua pemilihan presiden, dirangkul sebagai Menteri Pertahanan. Yang sudah all-out dan melakukan segala cara untuk mengalahkan Jokowi.

Menjadi pemimpin yang direkomendasikan oleh para kadrun pendukung khilafah, melalui gebrak-gebrak meja, dengan permainan tuduh sana-sini, dengan adegan sujud syukur kepedean, dan berbagai tindakan absurd lainnya, malah diangkat secara terhormat.

Bersama kader Gerindra lainnya, Edhy Prabowo, yang dipercaya untuk menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Menggantikan Menteri sebelumnya, Susi Pudjiastuti.

Hal ini sempat menimbulkan kekecewaan di mayoritas pendukung Jokowi. Mereka mempertanyakan alasan dibalik tindakan Jokowi ini. Prabowo dianggap adalah pimpinan para kadrun yang merupakan musuh yang harus segera diberantas dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Selain itu, tidak terpanggilnya lagi salah satu menteri favorit, Susi Pudjiastuti, juga meninggalkan luka. Bukan rahasia lagi apabila gaya kepempimpinan yang slengekan dan jargon “Tenggelamkan saja”-nya Susi, telah merebut simpati masyarakat.

Lalu diangkatnya beberapa nama, yang menimbulkan aroma adanya indikasi bagi-bagi jabatan di antara partai koalisi pendukung Jokowi, sebagai balasan atas jasa mereka. Salah satunya adalah ditunjuknya Ketua Umum ormas Pro Jokowi (ProJo), Budi Arie Setiadi,  sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Dari sini saja dapat dibaca bahwa beban balas jasa dalam politik itu nyata adanya. Dan konsep bahwa kekuasaan yang dimenangkan bersama harus dibagi, terbukti di sini.

Kalau memang tanpa beban, apa alasan dibalik pemilihan Prabowo dan kader partainya sebagai pembantu presiden? Bukankah itu seperti menaruh duri dalam daging sendiri?

Dan kenapa pula harus mengakomodir ngambeknya ProJo? Memangnya mereka masih diperlukan untuk mendukung Jokowi dalam menjalankan pemerintahan? Apakah Jokowi masih membutuhkan mereka untuk kepentingan politik yang lain?

“Menjaga Koalisi Kekuasaan”

Hal lain yang tampak bahwa ada usaha dari Jokowi untuk menjaga agar poros koalisi yang telah terbentuk, agar tetap utuh dan terjaga.

Dimulai dari manuver politik Surya Paloh dan Partai NasDemnya. Yang dengan mesra merangkul PKS dan membicarakan romantisme masa depan politik mereka. Terlihat jelas bahwa Surya Paloh telah mempunyai agenda politik tersendiri untuk masa depan.

Ada indikasi bahwa NasDem kecewa dengan apa yang telah diperbuat oleh Jokowi. Jatah 3 menteri pun tidak memuaskan mereka. Ditambah lagi dengan baper tingkat tinggi karena ajakan bersalaman Surya Paloh tidak ditanggapi oleh Megawati, Ketua PDI-P, partai Jokowi berasal.

Lalu, kalau memang Jokowi tidak ada beban, untuk apa menyatakan akan memeluk Surya Paloh lebih erat dibanding pelukan dari Sohibul Iman? Untuk apa menegaskan akan menjaga agar koalisi tetap utuh dan rukun?

Budaya tata krama jawa atau ada pesan politik yang jauh lebih besar dibalik itu semua?

“100 Jurus Para Pembantu Jokowi”

Dan mari kita amati gebrakan para Menteri pembantu Jokowi.

Menag Fachrul Razi dengan tegas menyatakan wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang di instansi pemerintah. Yang seolah-olah menandakan keseriusan Jokowi dan pemerintah untuk melawan radikalisme.

Kenyataanya, menteri yang sama telah merekomendasikan perpanjang ijin ormas intoleran pendukung radikalisme. Yang AD/ARTnya dengan mudahnya di belokan menjadi sebuah katalis untuk menegakkan khilafah di Indonesia.

Adakah beban bagi seorang Jokowi untuk bertindak tegas dalam hal ini? Apakah Jokowi menaifkan ancaman radikalisme dan intoleransi di masyarakat?

Bagaimana dengan Mendagri Tito Karnavian?

Betapa girangnya para cebong ketika mendengar bahwa Mendagri akan menyisir anggaran APBD DKI Jakarta, yang dinilai oleh masyarakat bermasalah. Mereka berteori bahwa Gubernur Anies Baswedan, panas-dingin dibuatnya. Anies gentar! Takut! Dan narasi-narasi lain yang serupa.

Apalagi juga ketika nama Menkeu, Sri Mulyani, juga dilibatkan. Semakin giranglah para pembenci pemimpin yang sering diplesetkan menjadi “Wan Aibon” itu. Hingga sampai ada wacana bahwa Anies sedang berada dalam pusaran bully yang tiada henti.

Dan ketika baru-baru ini Mendagri kembali menyentil Anies, dengan menyebut bahwa Jakarta sebagai kampung dibandingkan Shanghai, telah membuat sebagian orang percaya bahwa masa jabatan Gubernur pilihan JKT58 itu tidak akan lama lagi,

Tetapi, sampai detik ini, Anies masih nyaman menduduki kursi DKI 1. Tidak ada indikasi takut, terancam, malu dan sebagainya. Gubernur Jakarta tetap dalam kesibukannya menata kata, dan menyediakan spot-spot yang instagramable bagi warganya. Penggusuran atau penataan kota tetap berjalan sesuai rencana.

Belum lagi komentar pedas Menkopolhukam, Mahfud MD, mengenai Habib Riziek Shihab (HRS) yang terkatung-katung di negeri orang tanpa kejelasan kapan akan kembali ke Indonesia.

Mantap! Mantul! Tapi kenyataan berkata lain, Fergusso!

Apakah para menteri ini juga bekerja dengan semangat tanpa beban seperti yang telah dinyatakan oleh pemimpinnya, Presiden Jokowi?

Yang ada malah seperti lagu yang sedang viral, “Entah Apa Yang Merasukimu”, hingga para menteri ini seperti terbeban berat untuk melakukan hal yang menjadi aspirasi masyarakat.

“Tanpa Beban. Beban Kepada Siapa?”

Akhirnya kita kembali ke statement awal yang telah disampaikan oleh Jokowi. Tanpa beban dalam bekerja untuk Indonesia.

Dari apa yang terlihat, sepertinya masih jauh panggang dari api. Tanpa beban yang dimaksud Jokowi, masih tidak menujukkan bahwa Jokowi konsisten dengan niat dan ucapannya.

Potrait yang di tangkap masyarakat adalah Jokowi seakan-akan tidak ada beban untuk mendengar aspirasi masyarakat, seakan-akan tidak ada beban untuk berlagak buta dan tidak melihat bahwa pengaruh radikalisme, intoleransi dan terorisme semakin menyebar, dan mengancam masyarakat di segala lini.

Beban kepada para penguasa politik tidak dapat dihilangkan begitu saja. Adanya wacana bahwa presiden dapat menjabat lebih dari 2 periode, menjadi benang merah dari berbagai peristiwa yang disebut diatas.

Bila wacana tersebut benar-benar terwujud, maka Jokowi akan dapat maju lagi di pilpres 2024. Entah berkompetisi dengan Prabowo lagi, atau kontestan yang lain. Pamor Prabowo masih sulit ditandingi bila Prabowo kembali maju di pilpres 2024. Masih tidak adanya sosok lain yang dapat menandingi Prabowo, bisa jadi merupakan ancaman bagi PDI-P sebagai pemenang mayoritas suara di pemilu 2019. Dengan majunya Jokowi kembali, akan menjamin langgengnya PDI-P sebagai pemegang kekuasaan. Dan memberi mereka waktu yang cukup untuk mempersiapkan kader sebagai calon presiden Indonesia berikutnya di 2029.

“NKRI diatas segalanya”

Rakyat telah memilih pemimpin yang mereka percayai untuk memimpin Indonesia dan rakyatnya maju dan berkembang. Sudah saatnya Jokowi bertindak tegas dalam memimpin, dan mewujudkannya dalam berbagai kebijakan. Bukan hanya disampaikan dalam rapat atau forum terbuka sebagai sebuah narasi.

NKRI harus dibawa maju dan berkembang. Indonesia jangan sampai tertinggal di dunia internasional, terhambat halusinasi dari lem kuning, dan dihambat oleh pelabelan kafir, asing, aseng dan asong. Apalagi sampai terbebani kepentingan politik gologan tertentu, untuk menciptakan sebuah “Orde Baru” yang lain.

SL for GAEKON