Kudatuli 96, People Power Loyalis Megawati Kontra Orba
Tanggal 27 Juli 1996 adalah sabtu kelabu bagi Indonesia. Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tercatat ada 5 orang meninggal dunia akibat kerusuhan dan 11 orang meninggal di RSP Angkatan Darat. 149 orang baik sipil maupun aparat terlukam 23 orang hilang dan 136 orang ditahan. Semuanya adalah korban dari peristiwa kerusuhan 27 Juli (Kudatuli) di Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat.
Pemicu utama kerusuhan tersebut adalah buntut dari intervensi rezim Soeharto untuk menggulingkan kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Soeharto merekayasa Kongres PDI di Medan yang mengusung Soerjadi menjadi pimpinan partai. Sementara itu massa loyalis Megawati yang sah ditetapkan sebagai ketua umum berdasarkan Musyawarah Nasional PDI di Hotel Kemang, Jakarta, akhir Desember 1993 tidak terima dengan langkah campur tangan pemerintah.
Aksi perlawanan muncul dari pendukung Megawati melalui mimbar bebas di depan kantor DPP PDI yang penuh kritik keras kepada orba. Mimbar bebas tersebut memicu perlawanan baik dari aparat maupun pendukung Soerjadi. Aksi pun berujung kerusuhan. Terutama di sekitar Jalan Diponegoro dan Salemba Jakarta Pusat.
Suasana Mencekam
Kerusuhan dimulai pada pukul 06.30 WIB saat massa pendukung PDI Soerjadi menyerbu Kantor DPP PDI. Hujan batu dan lemparan bom Molotov mengarah kepada simpatisan PDI Megawati yang mempertahankan kantor tersebut.
Kejadian tersebut bukannya tak diantisipasi oleh aparat. Keberadaan aparat polisi dan militer di lokasi pasif dalam menghalau massa pendukung PDI Soerjadi yang lebih banyak daripada massa PDI Megawati yang bertahan di dalam kantor. Bahkan satuan polisi berseragam anti huru-hara merangsek masuk ke kantor lantas memberi jalan pada massa penyerbu yang ada diluar gedung. Dari sini mulai ada beberapa korban luka-luka yang diangkut aparat ke rumah sakit.
Pukul 08.30 WIB aparat mampu meredam situasi. Belasan pendukung Megawati diamankan menuju markas Polda DKI Jakarta. Sementara itu ada Sembilan orang terluka yang diangkut ambulans ke rumah sakit. Massa sempat surut, namun bukannya membubarkan diri sejumlah mahasiswa, LSM, dan pendukung Megawati terus berdatangan. Mereka kemudian berkumpul di luar ring penjagaan polisi dan TNI. Mereka berorasi dan menyanyikan lagu protes pada penguasa.
Siang harinya, massa berkumpul menjadi sekitar 10 ribu orang. Massa tambahan terdiri dari orang-orang kampung sekitar rel kereta api Cikini dan anak SMA yang baru pulang sekolah pun ikut bergabung.
Situasi makin tidak kondusif jelang pukul 2 siang. Hujan batu kepada aparat semakin lebih berani. Aparat polisi dan TNI membalasnya dengan melempar gas air mata dan menyemprotkan water cannon. Aparat juga memukul mereka dengan senjata pentungan.
Penyerbuan aparat membuat massa pendukung Megawati tercerai-berai dan memicu kerusuhan lebih luas di daerah sekitar Kantor DPP PDI Jakarta. Ricuh meluas hinga ke Menteng di sepanjang Jalan Surabaya dan arah Salemba sepanjang Jalan Diponegoro dan Proklamasi. Massa lantas bergerak menuju ke Senen dan menuju Kampung Melayu. Massa perusuh mengamuk dengan membakar gedung pemerintah, bank, agen mobil dan sebagainya yang dilewati oleh mereka. Hingga pukul 19.00 WIB kobaran api kebakaran masih menyala di ibu kota.
Tak Pernah Terungkap
Juli 2019 adalah momen peringatan 23 tahun peristiwa berdarah Kudatuli. Sayangnya peristiwa ini tidak pernah diusut tuntas dengan jelas kepada publik. Dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat pada Kudatuli yang disimpulkan oleh Komnas HAM juga tak berarti apa-apa.
Sampai kini tidak pernah ada pelaku pelanggar HAM berat yang dijebloskan penjara. Meski laporan akhir dari Komnas HAM menyebut sejumlah nama dalam pertemuan 24 Juli 1996 di Kodam Jaya yang saat itu dipimpin oleh Kasdam Jaya Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono. Hadir pada rapat itu sejumlah nama antara lain Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso, dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, Susilo Bambang Yudhoyono memutuskan penyerbuan atau pengambilalihan kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya.
Pengungkapan Kudatuli secara tuntas menemui banyak kesulitan. Karena saat ini sudah banyak sumber infomasi primer yang sudah tidak ada. Misal Soeharto sendiri yang sudah meninggal.
Namun, bukannya tanpa kesempatan. Megawati sendiri saat menjadi presiden sebenarnya punya kuasa untuk membongkar dalang Kudatuli menanggapi desakan dari korban dan masyarakat. Misalnya pada saat negara didesak membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sejak era Presiden BJ Habibie, bila PDIP dan Megawati menyetujuinya, maka hal ini akan menjadi nada yang kuat kepada alat negara untuk mengungkap Kudatuli.
Pemerintah silih berganti, sampai detik ini pun misteri Kudatuli tidak pernah diungkap secara gamblang. Pembiaran yang berlarut-larut kasus pelanggaran HAM membuat efek imun bagi pelaku di masa lalu atau pelaku masa depan.