Gaekon.com – Apa selama ini kalian merasa kebijakan pemerintah kok makin ga pro rakyat? Subsidi apa saja ditarik. Di saat bersamaan pajak juga ditarik makin variatif dan membebani.
Banyak kebijakan yang bikin kita geleng-geleng kepala sambil bergumam. Ini pemerintah katanya citranya merakyat-tapi kok kebijakannya minim yang pro rakyat ya?Mungkinkah Indonesia saat ini sudah masuk dalam bayang gelap Plutokrasi?
Plutokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang mendasarkan suatu kekuasaan atas dasar kekayaan yang mereka miliki. Mengambil kata dari bahasa Yunani, ploutos yang berarti kekayaan dan kratos yang berarti kekuasaan. Riwayat keterlibatan kaum hartawan dalam politik kekuasaan memang berawal di kota Yunani, untuk kemudian diikuti di kawasan Genova, Italia.
Plutokrasi berbeda dengan aristokrasi. Aristokrasi adalah kaum bangsawan, atau kelas penguasa yang secara turun temurun menguasai pemerintahan. Sementara, untuk istilah pertama, orang kaya (belum tentu bangsawan) yang menguasai pemerintahan
Ketika orang-orang terkaya memiliki semua kekuatan dalam masyarakat dan membuat semua keputusan politik, ini adalah contoh dari plutokrasi. Lalu apa di Indonesia mulai masuk ke dalam ciri ini? Jawabnya, Iya!
Hal itu bisa dilihat dari berapa banyak pengusaha dan kalangan tajir yang menguasai parlemen. Untuk DPR RI periode 2019, secara mengejutkan didapati fakta bahwa hampir separuh anggota dewan memiliki latar pengusaha.
Dari total 575 kursi, ada 262 anggota DPR RI yang tercatat sebagai pengusaha. Mereka diketahui memiliki saham, menjabat komisaris, hingga menduduki kursi direksi di lebih dari seribu perusahaan. Bisnis mereka mencakup sektor penyiaran, perdagangan umum, hingga industri ekstraktif.
Pada periode sebelumnya yakni anggota DPR RI 2014 pengusaha menduduki kursi parlemen lebih dari 50 persen. Gila, separuh lebih bos!
Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) ada 293 orang (52,3 pesen) yang memiliki latar belakang pengusaha. Dari 288 entitas bisnis yang teridentifikasi, ICW menemukan sebanyak 11 persen atau 32 perusahaan memiliki potensi konflik kepentingan langsung dengan jabatan, wewenang dan tugas Anggota DPR yang bersangkutan.
Selain pengusaha yang tajir, para artis juga bisa dimasukkan dalam golongan orang kaya. DPR angkatan 2019 memiliki 14 nama seleb yang berhasil dapat kursi. Ada nama-nama yang sebelumnya pernah jadi anggota DPR, semacam Desy Ratnasari, Primus, Eko Patrio, sampai Rieke Diah Pitaloka.
Kemudian ada juga wajah baru mulai dari Tommy Kurniawan, Krisdayanti, hingga Farhan. Nah, ada juga nama baru yang sempat bikin geger lantaran disebut netizen sebagai ‘Perekor’ alias perebut kursi orang. Yup, siapa lagi kalau bukan Mulan Jameela. DPR mesti bangga karena punya anggota berlabel makhluk Tuhan paling seksi.
Nggak heran kan makin kesini kebijakan pemerintah makin aneh-aneh? Lha wong Anggota DPR koyok ngunu kabeh jebule. Tentunya, potensi konflik kepentingan membayangi kerja mereka saat menyusun undang-undang dan anggaran.
Makin banyak orang tajir nek takroso ada pengaruh pemilu langsung di balik kondisi itu. Demokrasi elektoral hasil reformasi justru memperkuat siklus hartawan menjadi penguasa. Jadi nggak kaget kalau sampai ada adagium, “politik untuk menjadi hartawan, dan berharta demi kekuasaan politik”.
Gak usah kaget, misal awakmu mau bikin parpol baru. Kowe harus punya modal materi yang super besar. Syarat prosedural bikin parpol sesuai UU Parpol 2011 mewajibkan, syarat pendirian partai politik yakni memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota dan 50 persen kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan serta partai harus memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahap akhir Pemilu. Semua ini tentu membutuhkan dana yang cukup besar.
Lebih lanjut, syarat ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) 4 persen dan 20 persen untuk ambang batas presidential threshold mendorong terjadinya politik kartel serta hanya memperkokoh kekuasaan elite oligarki yang memiliki kekuatan modal yang kuat. Semua ini semakin menjadikan sistem politik kita mengarah pada plutokrasi, dimana kekuasaan politik berada di tangan segelintir orang kaya (plutocrat) yang akhirnya meniadakan persaingan dan menutup ruang kepada semua warga untuk berpartisipasi politik.
Lebih jauh, imbasnya politik kini kehilangan kesuciannya sebagai upaya meraih keadilan sosial dan kebaikan bersama (common good) namun dimaknai hanya sekedar alat untuk akumulasi dan mempertahankan kekayaan. Situasi ini kian mengarahkan kebijakan publik yang seyogyanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kebaikan bersama malah rawan dibajak untuk kepentingan bisnis pribadi segelintir orang.
Dadi, ojok kaget Yo cuk, ancene model kahanane koyo ngene saiki. Wes nyambut gaweo seng temen, gawe keluarga, anak-bojo. Wong nek mati, Nang kuburan koe Yo gak bakal ditakoni malaikat, “yaopo le, kok negoromu morat-marit ngunu?”.
K For GAEKON