Beragama Tapi Bo’ong, Gagap Esensi Fasih Syar’i

0
Beragama Tapi Bo'ong, Gagap Esensi Fasih Syar'i

Gaekon.com – Tulisan ini ditulis oleh seorang pendosa dan bukan agamawan. Saya persilahkan anda, yang merasa suci bebas dari dosa, yang merasa alim sehingga Tuhan sangat dekat dengan anda – sementara yang lainnya tidak – untuk segera berhenti membaca tulisan ini. Sebab kontennya adalah cuatan perasaan saya yang sangat muak terhadap ‘agama’.

Seorang sahabat tiba-tiba mengirimkan video salah seorang ustadzah yang menganjurkan istri memperbolehkan suami apabila sudah tak sanggup melayani. Dalam cuplikan video itu, melayani yang dimaksud hanya dipenggal sebatas pelayanan seksual.

Kalau suami minta jatah sehari dua kali, anda tak mampu, ya suruh suami cari lagi. Begitu kurang lebih isi ceramahnya. Sahabat saya ini minta saya berpendapat. Langsung saya berseloroh, “agomo kok mek urusan selangkangan ae toh. Meskipun begitu secara syariat hal itu diperbolehkan.”

Lalu saya kelepasan, ngobrol ngalor-ngidul tentang pengalaman saya soal beberapa konsep dalam agama yang saya tidak terima. Contohnya hukum sholat memakai baju curian, yang anehnya dalam fiqih hal itu sah. Saya pernah berdialektika dengan guru agama jebolan pondok pesantren ternama. Dan memang dia mengkonfirmasi hal itu diperbolehkan. Lah nek sembahyang gawe klambi colongan gawe opo onok agomo? pikirku.

Selain itu pengalaman lain seperti wanita berjilbab yang tidak mengamankan orang lain. Asal serobot antrean di depannya. Buat apa ngaku Islam dengan berjilbab tapi kelakukan tidak bisa menyelamatkan satu sama lain?

Ada lagi saya pernah mau ngeramut anak kucing yang kelaparan dan sakit. Tapi ada loh orang yang tidak sependapat dan malah berat ke hukum fiqih tentang najis. Nggak usah diramut kucing iku najis taeke pipise. Menurutku, pikiran seperti itu yang justru najis.

Yang lain seperti dilarang sholat di masjid malah marah-marah. Lah yang kamu sembah itu masjid apa Gusti Allah. Kok perkara segitu saja sampai tega melukai perasaan saudara seiman yang lain.

Lebih lucu lagi saya pernah hadir di acara nikahan saudara. Nah saudara saya ini mungkin lagi gemeter, gerogi dan nerves, dia sampai berkali-kali membaca kalimat akad nikah. Lalu yang muncul dalam pembicaraan hadirin adalah kalimat semacam, “waduh, kok ga mantep ngunu”, “leh kok dibaleni sampek peng akeh” dan lain-lain.

Apa iya sih niat itu dinilai bagus nggaknya cuma dari apa yang terucap di bibir? Bagaimana kalau ada orang yang tidak fasih tapi di dalam hatinya niatnya sungguh-sungguh menikah? Atau apa ada kemungkinan orang yang “qobiltu nikaha” nya fasih tapi sama istri main tempeleng? ada dan itu jamak terjadi.

Kok rasanya kering sekali beragama dengan model begitu itu. Kok semacam lupa esensi dari ajaran agama tapi fasih dalam hal kulit luarnya saja. Begitukah keadaan umat saat ini?

wallahualam bishawab

K For GAEKON